Previous
Ada yang mengatakan bahwa asal mula agama dapat ditelusuri kembali kepada doa.
Ikeda Sensei menjelaskan bahwa manusia dari zaman kuno berdoa karena mereka terinspirasi oleh kemegahan langit yang menakjubkan dan juga karena takut pada kekuatan penghancur Ibu Pertiwi yang hebat. Merasa tak berdaya atas takdir sendiri, mereka berdoa kepada dewa-dewi agar kondisi mereka membaik. Oleh karena itu doa merupakan ungkapan alami dari keinginan dan kehendak manusia.
Ikeda Sensei menyatakan, “Doa tidak lahir dari agama; sebaliknya, agamalah yang lahir dari doa” (The Wisdom of the Lotus Sutra, jilid 4, hlm. 152).
Sekarang ini tentu saja ada banyak agama, beragam bentuk doa dan banyak interpretasi mengenai arti doa. Akan tetapi, salah satu keyakinan umum adalah bahwa sumber keselamatan hanya terdapat dalam mengandalkan kekuatan eksternal.
Namun Buddhisme Nichiren menekankan bahwa doa kita membangunkan kekuatan dari dalam diri kita (internal) maupun dari lingkungan kita (eksternal), yang memungkinkan kita untuk mengubah dan mengarahkan jalan hidup kita.
Ikeda Sensei mengatakan, “Argumen Buddhisme yang meyakinkan adalah keyakinannya bahwa kebaikan terbesar diperoleh dari peleburan dan penyeimbangan yang dinamis antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal” (My Dear Friends in America, edisi ketiga, hlm. 343).
Buddhisme Nichiren mengajarkan bahwa Hukum Nam-myoho-renge-kyo ada dalam kehidupan setiap orang dan juga meliputi seluruh alam semesta. Ketika kita melantunkan Nam-myoho-renge-kyo, kita mengaktifkan sifat pencerahan inheren kita sambil di saat yang bersamaan menyelaraskan diri kita dengan irama Hukum Nam-myoho-renge-kyo alam semesta. Inilah caranya kita memunculkan kearifan, keberanian, dan welas asih yang tak terbatas dari dalam jiwa kita, yang memungkinkan kita untuk mengatasi kesulitan kita dan membangun kehidupan yang berkebahagiaan dan berkepuasan terbesar.
Ada sebuah perumpamaan yang menakjubkan mengenai prinsip ini dalam tulisan Nichiren Daishonin. Beliau menyatakan: “Ketika burung dalam sangkar berkicau, burung-burung yang terbang di angkasa akan terpanggil dan berkumpul di sekitarnya, dan ketika burung-burung yang terbang di angkasa berkumpul di sekitarnya, burung dalam sangkar akan berusaha untuk keluar. Ketika kita melantunkan Nam-myoho-renge-kyo dengan mulut kita, maka sifat Buddha kita yang terpanggil pasti akan muncul” (“Pencapaian Kesadaran Buddha bagi Penganut Pemula”, The Writings of Nichiren Daishonin, jilid 1, hlm. 887).
Dalam penggalan ini, “burung dalam sangkar” menunjukkan sifat Buddha, atau sifat pencerahan, dari manusia biasa. Sedangkan “sangkar” mewakili rantai-rantai kegelapan atau ketidaktahuan hakiki, delusi, keinginan duniawi, dan segala macam penderitaan. “Burung dalam sangkar berkicau” menunjukkan orang-orang yang melantunkan Nam-myoho-renge-kyo dengan memercayai Hukum Nam-myoho-renge-kyo, sedangkan “burung-burung yang terbang di angkasa” melambangkan sifat Buddha yang ada dalam semua makhluk hidup.
Suara kita yang penuh kekuatan dalam melantunkan Nam-myoho-renge-kyo membangunkan sifat Buddha dalam jiwa kita, dan memanggil sifat Buddha semua makhluk hidup di seluruh alam semesta. Sama seperti “burung dalam sangkar berusaha untuk keluar”, melalui komunikasi mendalam antara diri kita dan alam semesta, kita mampu memunculkan kekuatan untuk menerobos kegelapan dan ketidaktahuan hakiki kita serta terbang dengan bebas ke alam pencerahan yang luas dan tanpa halangan seperti alam semesta (lihat Learning From Nichiren’s Writings, The Teachings for Victory, jilid 3, hlm. 40).
Kekuatan untuk mengubah situasi kita ada dalam diri kita—kitalah pusat kendalinya. Melalui doalah kita menggerakkan proses memanggil sifat Buddha dari dalam jiwa kita dan mengaktifkan kekuatan besar alam semesta. Oleh karena itu, tekad batin kitalah kuncinya.
“Kekuatan suasana jiwa sungguh menakjubkan,” kata Ikeda Sensei. “Kekuatan dari tekad batin sungguh tak terbatas. Dalam situasi atau lingkungan yang serupa, orang-orang bisa mencapai hasil yang sepenuhnya berbeda dan menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda tergantung pada suasana jiwa dan tekad mereka” (The Wisdom for Creating Happiness and Peace, jilid 1, hlm. 89). Karena alasan inilah doa kita adalah sebuah ikrar, prasetia untuk mencapai sasaran kita tidak peduli apa pun yang terjadi.
Berdasarkan ajaran Buddhisme Nichiren, kita bisa yakin bahwa dengan tekad dan prasetia yang kuat, kita bisa mengubah penderitaan terdalam kita dan tantangan yang paling menakutkan melalui doa dan aksi kita menjadi sumber pertumbuhan, kepuasan, dan sukacita yang paling besar.
BIMBINGAN IKEDA SENSEI
Di mana pun pelaksana Sutra Bunga Teratai melantunkan Nam-myoho-renge-kyo, sama seperti gema yang merespons suara dan bayangan yang mengikuti badan, doa mereka pasti tidak akan gagal memberikan hasil yang positif. Nichiren Daishonin mengajarkan bahwa kita berubah—baik jasmani maupun spiritual—oleh doa, yang pada gilirannya memberikan pengaruh yang positif pada lingkungan kita. …
Nichiren Daishonin menulis: “Karena kehidupan tidak melampaui momen sekarang, sang Buddha membabarkan karunia yang datang dari bersukacita meski hanya sekejap [saat mendengar Sutra Bunga Teratai]” (“Tanya Jawab Mengenai Memeluk Sutra Bunga Teratai”, The Writings of Nichiren Daishonin, jilid 1, hlm. 62).
Karena “kehidupan tidak melampaui momen sekarang”, seperti yang beliau katakan, fokus kita harusnya ada pada kekuatan yang muncul dari dalam diri kita di setiap saat untuk mendukung kita dan memberikan arah yang mendasar bagi kehidupan kita. Doa—yakni melantunkan Nam-myoho-renge-kyo—adalah satu-satunya cara bagi kita untuk menghadapi delusi paling mendasar yang inheren dalam jiwa. …
Doa menghasilkan perubahan dalam hati kita, di dasar jiwa kita. Perubahan batin yang tak kasatmata dan mendalam ini tidak berakhir pada kita saja [tetapi menginspirasikan perubahan serupa dalam diri orang lain]. Begitu pula, ketika satu komunitas berubah, ia tidak akan terbatas pada komunitas itu saja. Sama seperti satu gelombang menimbulkan gelombang-gelombang lain yang tak terhitung, perubahan dalam satu komunitas akan menciptakan efek riak perubahan dalam komunitas lainnya juga.
Saya ingin menegaskan bahwa langkah pertama menuju perubahan sosial demikian adalah perubahan dalam hati satu individu. (The Wisdom for Creating Happiness and Peace, jilid 1, hlm. 59–60).