Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

“Apa tujuan kita mengembangkan kearifan? Sering-seringlah tanyakan hal ini pada diri kita sendiri.” “Kerja keras dan pengabdian demi misi hiduplah yang memberi arti pada kehidupan”. Daisaku Ikeda

Pengalaman tiga tahun terakhir ini merupakan sebuah perjalanan dari revolusi manusia saya. Saya bersyukur sekali bisa mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan S2 di Universitas Soka Jepang (SUJ) dan kini mulai bekerja di Jepang. Kemenangan mewujudkan impian di masa muda untuk kuliah di Universitas Soka ini tercapai lewat pelaksanaan kepercayaan Buddhisme Nichiren, seperti kata Daishonin bahwa tiada doa yang tidak terkabulkan.

Tantangan pertama di awal saya berkuliah di SUJ adalah kemampuan berbahasa asing. Bukan hanya untuk Bahasa Jepang yang memang belum saya kuasai, tapi juga bahasa Inggris di jurusan pascasarjana Pengajaran Bahasa Inggris (Teaching English to Speakers of Other Languages atau TESOL) yang saya ambil. Kuliah sepenuhnya dalam bahasa Inggris merupakan pengalaman pertama saya. Banyak sekali istilah akademik yang sulit dipahami. Namun, ini menjadi motivasi saya untuk belajar dan memperdalam kemampuan saya dalam bahasa Inggris. Saya mencoba lebih membuka diri, lebih banyak berbicara dan membaca untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya serta memahami materi kuliah yang diberikan. Setiap pulang dari kuliah, saya pun terus berdaimoku dan bertekad untuk bisa benar-benar meningkatkan kemampuan saya dalam bahasa Inggris. 

Kurang dari satu minggu di Universitas Soka, saya langsung dibanjiri dengan kesibukan kuliah maupun kegiatan persiapan Festival Soka di bulan Oktober. Selain itu, tantangan lainnya yang juga dirasakan oleh kebanyakan mahasiswa adalah masalah keuangan. Selama kuliah, saya bertekad untuk meminimalisir pengeluaran agar tidak memberatkan keuangan keluarga. Saya sangat berterima kasih kepada Ikeda Sensei karena selama saya kuliah bisa menerima uang saku bulanan dari Universitas Soka lewat Makiguchi Scholarship Foundation yang cukup untuk membiayai iuran asrama dan biaya hidup di masa kuliah. Saya juga bisa mendapatkan pekerjaan sambilan di Fasilitas World Language Centre Universitas Soka sebagai fasilitator diskusi Bahasa Inggris yang memberi tambahan uang saku bagi saya. Banyak sekali fasilitas dan juga dukungan yang telah Ikeda Sensei berikan kepada setiap mahasiswa untuk menjamin kenyamanan dan ketenangan dalam belajar. Lewat kerja keras dan perjuangan untuk terus menantang diri, pada semester pertama saya berhasil menuntaskan setiap mata kuliah dengan nilai yang memuaskan. 

Cahaya Filosofi Humanis Soka

Universitas Soka  adalah perwujudan nyata dari perjuangan guru dan murid yang dirintis oleh Makiguchi Sensei, diteruskan oleh Toda Sensei, dan direalisasikan oleh Ikeda sensei. Filosofi humanisme pendidikan Soka begitu terasa lewat interaksi dengan setiap individu di dalamnya, baik mahasiswa, dosen dan profesor serta staf Universitas Soka. Mulai dari berinteraksi dengan staf kampus saat pertama mendarat di Jepang, sampai dengan lulus kuliah, setiap orang dari mereka begitu ceria, suportif, dan sangat peduli pada keadaan mahasiswa. Meskipun banyak dosen dan profesor bukan anggota Soka Gakkai, mereka tetap melandasi pendekatan mengajar yang mengutamakan dan menghormati karakter dan potensi setiap individu. Filosofi humanisme Soka terwujud jelas dalam setiap tindakan individu-individu di kampus, sesuai dengan harapan Ikeda Sensei untuk menjadikan Universitas Soka sebagai pusat pendidikan humanistik, tempat lahirnya budaya baru, dan untuk menjadi benteng perdamaian dunia.  

Para mahasiswa juga berjuang untuk mewujudkan filosofi Soka dan visi pendiri universitas, Ikeda Sensei, dengan menciptakan nilai dan berkontribusi bagi perdamaian dunia. Banyak sekali kegiatan yang diadakan para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam mewujudkan misi pendidikan yang humanistik dalam keseharian di masa perkuliahan. Setiap kegiatan selalu didasarkan pada keinginan untuk membalas budi dan berterima kasih pada Ikeda Sensei. Hal ini menggambarkan kedekatan setiap mahasiswa dengan visi sang pendiri universitas, suatu hal menarik yang mungkin sulit ditemukan di universitas lain. Di SUJ, saya juga belajar arti persahabatan dan juga interaksi sesama manusia. Sebuah rejeki yang tidak mungkin bisa saya beli dengan materi adalah bisa berteman dengan mahasiswa dari berbagai negara, dengan cara pandang, budaya, dan keunikan pribadi yang berbeda-beda. 

Menjelang tahun akhir kuliah, saya sempat mengalami kondisi mental yang sedikit drop akibat kecemasan dalam diri saya. Namun, perlahan saya belajar untuk mengontrol diri dan pikiran saya, untuk tidak terbawa oleh fungsi iblis berupa sikap yang menghakimi maupun emosi negatif diri sendiri. Lewat proses panjang dari daimoku yang tulus, membaca bimbingan Ikeda Sensei, berbagi dengan senior kepercayaan, dan terus menantang diri terlibat dalam berbagai kegiatan Soka Gakkai, saya bisa mengerti secara lebih mendalam suasana jiwa saya sendiri serta belajar menguasai pikiran dan emosi diri. 

Di semester terakhir kuliah, saya terus menantang diri untuk bisa menyelesaikan tugas akhir tesis tepat waktu. Di saat bersamaan, tepat dua bulan sebelum presentasi akhir tesis, saya mendapat kesempatan untuk menjadi MC dalam festival tahunan dari grup anggota SGI yang ada di Tokyo dan sekitarnya. Kesempatan besar ini seakan sebuah pelatihan langsung dari Ikeda Sensei untuk mengembangkan potensi terbesar dari dalam diri saya. Saya berdaimoku dengan segenap hati dan berlatih untuk bisa menyukseskan festival tersebut, dan berjuang untuk bisa melaporkan kemenangan dalam tesis saya. Lewat doa dan dukungan dari semua teman-teman Soka Gakkai, teman kuliah, dan para profesor, saya akhirnya bisa meraih kemenangan dalam festival tersebut dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Saya juga bisa mempresentasikan hasil penelitian saya di dua konferensi international di Medan, Indonesia dan Kuching, Malaysia sebulan sebelum wisuda.

Memulai Langkah Baru di Jepang

Setelah lulus kuliah, saya mulai mencari kerja, masa yang cukup menantang hidup dalam kehidupan saya. Saya bertekad di bulan September 2019 untuk bisa mendapatkan pekerjaan di bidang pendidikan sebelum 18 November 2019. Sebuah target baru yang sangat optimis, meskipun saya tidak tahu dari mana bisa mendapatkan pekerjaan tersebut dalam waktu yang begitu singkat. Awalnya saya berfokus untuk mencari pekerjaan di tingkat perguruan tinggi. Namun kebanyakan universitas membutuhkan publikasi jurnal dan pengalaman kerja, sehingga saya juga mencoba melamar untuk mengajar di sekolah formal maupun non-formal level pendidikan dini sampai sekolah menengah atas. Uniknya kesempatan untuk mengajar di Jepang khususnya bahasa Inggris terbilang cukup terbuka lebar, tetapi sebagian institusi hanya merekrut penutur asli bahasa Inggris dan memiliki kemampuan Bahasa Jepang. 

Di awal bulan Oktober 2019, saya berpapasan dengan salah seorang senior yang bekerja sebagai asisten dosen di Universitas Soka. Dia mengetahui bahwa saya masih mencari kerja dan langsung merekomendasikan sebuah lowongan kerja yang didapat dari kenalannya. Kesempatan kerja ini cukup istimewa, karena sekolah tersebut belum dibuka dan masih dalam tahap pengajuan izin ke pemerintah kota. Selain itu, institusi ini bukan sekolah umum, melainkan sekolah tambahan (after-school) khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus dengan gangguan perkembangan seperti ADHD dan Gangguan Spektrum Autisme. 

Meski awalnya ragu, saya memilih untuk mencoba dan menetapkan jadwal untuk wawancara kerja dengan pemilik sekolah tersebut. Kami bertemu dan membahas tentang kesempatan kerja. Ide dan konsep lembaga ini juga sangat unik. Berbeda dari tempat kursus atau pendidikan informal lainnya, lembaga ini tidak membuat rencana pelajaran khusus untuk anak didik, tetapi berfokus untuk mendampingi anak-anak itu dengan keterampilan ataupun hobi yang mereka miliki, termasuk gaming, melukis, pemrograman robot, dan berbagai hal lain lewat kecanggihan perangkat teknologi. Saya juga terinspirasi oleh tujuan sekolah itu yang berfokus pada kebahagiaan para siswa. Saya pun tersentak mendengar visi dia yang sejalan dengan filosofi pendidikan Soka meskipun dirinya bukan anggota Soka Gakkai. Satu minggu berikutnya, saya menandatangani kontrak kerja purnawaktu dengan lembaga ini. Namun, saya belum mengetahui kapan sekolah akan dibuka karena atasan saya masih mencari satu kandidat manajer. Sambil menunggu, saya pun mulai mengambil kursus singkat online dari berbagai platfrom yang menawarkan materi tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus dan berhasil menyelesaikan dua kursus singkat tentang ADHD dan Autisme.

Setelah beberapa bulan sejak tanda tangan kontak kerja, akhirnya di awal Februari 2020 saya mulai bekerja di sekolah khusus tersebut. Kondisi di bulan-bulan pertama begitu menantang, berhubung kami mulai mempromosikan sekolah ini tepat di awal mulai melonjakknya wabah virus covid-19. Banyak ketidakpastian membayangi jalannya sekolah ini, apakah kita masih bisa bertahan atau tetap buka karena kondisi terpuruk ini. Namun, dengan optimis kami tetap buka. Atasan saya terus melakukan berbagai promosi lewat media elektronik, internet, dan media sosial. Saya juga membantu menyebarkan brosur ke kompleks-kompleks perumahan di sekitar sekolah. Perlahan tapi pasti, kami berhasil menerima satu, lalu dua hingga sekarang ada sekitar belasan siswa. Meskipun angka ini masih belum mencapai target, tetapi sekolah ini masih bisa tetap beroperasi, baik online maupun tatap muka dengan tetap menjaga diri dari penyebaran virus covid-19.

Bulan-bulan pertama bekerja, saya perlahan tapi pasti bisa memperdalam ilmu saya di bidang yang saya tekuni saat ini. Pekerjaan yang saya kerjakan cukup berbeda dari latar belakang saya di masa kuliah maupun hobi saya sendiri. Banyak tantangan baru khususnya berhubungan dengan teknologi informasi dan games. Saya pun menerima banyak sekali masukan, serta nasehat dari atasan saya yang terkadang begitu tegas dan keras atas kinerja saya yang belum maksimal dalam bekerja. Namun, saya tidak ingin menyerah, saya terus berdaimoku untuk bisa meningkatkan kemampuan saya, dan menjadikan tantangan ini sebagai fondasi untuk menciptakan nilai di tempat kerja. 

Saya selalu mengukir bimbingan Ikeda Sensei di hati saya, “Meski segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kamu harapkan, jangan pernah menyerah ataupun berkecil hati. Orang yang terus berjuang akan menang pada akhirnya.” Secara perlahan saya bisa meningkatkan keahlian baik teknik mengajar dan juga keterampilan dalam menggunakan berbagai perangkat teknologi termasuk bermain games untuk mendampingi siswa sambil berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Saya yang dulunya anti-games bisa mengubah paradigma itu dan mulai memberdayakan games sebagai bagian dari pembelajaran. Setelah genap bekerja enam bulan, saya sangat bersyukur bisa terus bekerja tanpa terimbas banyak oleh kondisi pandemic Covid-19.  

Saya bertekad bekerja dengan lebih baik lagi, menciptakan lebih banyak kreativitas dan membawa keceriaan dan semangat dari pelaksanaan kepercayaan Buddhisme Nichiren di tempat kerja untuk kebahagiaan setiap anak di sekolah tersebut.