Sebelumnya
Nama saya Masakatsu. Nama panggilan saya Makun. Saya ingin menceritakan bagaimana Buddhisme Nichiren Daishonin menuntun saya secara menakjubkan dalam menemukan misi hidup saya.
Saya telah tamat dari SMA Soka di Osaka 3 tahun lalu. Saya diterima di SMA Soka di Kansai pada tahun 2014. Waktu itu saya hanya ada satu tujuan—mempelajari filosofi Ikeda Sensei. Sejak kecil, saya sedikit punya hati yang ingin melawan kata-kata keluarga saya. Saya ingat ada suatu saat saya bilang ke Ibu saya bahwa “Saya mau menganut agama lain.” Namun seiring pertambahan usia, sedikit demi sedikit saya mulai bisa merasakan kebenaran dari bimbingan Ikeda Sensei. Toda Sensei mengatakan bahwa bukti nyatalah yang paling penting. Walau seberapa banyak yang kita tahu tentang ajaran ini, kalau tidak ada bukti nyata yang kita alami sendiri, maka tidak ada artinya. Saat kelas 3 SMP, saya benar-benar merasakan kehebatan Buddhisme ini karena hal-hal yang saya doakan semuanya dapat terkabul dalam bentuk yang paling bagus.
Saya adalah orang yang sangat kritis. Saya tidak suka kebohongan. Jadi kalau selama ini saya pikir ajaran Buddhisme ini tidak ada bukti nyatanya, saya sudah pasti meninggalkan Buddhisme ini. Namun, faktanya adalah semua doa saya dapat terkabul satu per satu.
Di SMA Soka Kansai, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah orang Kansai memiliki rasa humor yang unik. Kadang-kadang saya tidak bisa mengikuti percakapan teman saya karena tingkat humornya terlalu tinggi, dan karena saya tinggal di asrama, saya terkejut bahwa ketika saya mandi bukan di kamar mandi pribadi tetapi mandi bersama-sama dengan teman-teman asrama dalam satu kamar mandi besar. Ini pengalaman pertama kali buat saya.
Hal paling penting yang saya pelajari adalah kalimat makeji-damashi artinya hati yang tak terkalahkan. Walaupun jatuh, kita keluarkan keberanian untuk bangkit lagi, terus menerus dan selama-lamanya. Semangat inilah alasan Soka Gakkai di Osaka disebut “Josho-Kansai”.
Pada tanggal 5 Juni 2015 pukul 11.16, ketika kelas saya mengunjungi Universitas Soka di Jepang, Ikeda Sensei datang jauh-jauh untuk mengunjungi kami. Hal ini sangat jarang terjadi dan tidak ada orang yang percaya. Ikeda Sensei dan Ibu Kaneko membuka jendela mobil dan melambaikan bendera Soka Gakkai. Mobilnya jalan pelan-pelan melewati setiap murid. Saya ingat saat itu hampir semua murid menangis karena terharu dan mereka mengungkapkan tekad dengan suara lantang kepada Ikeda Sensei. Saya juga salah satu murid yang menangis dengan suara yang cukup keras. Mobil Ikeda Sensei pelan-pelan mendekati tempat saya berdiri. Jaraknya kurang dari 1 meter. Saya melihat Ikeda Sensei memakai kacamata berwarna ungu tua. Saya langsung mengucapkan tekad saya dengan mengatakan salah satu bimbingan Guru Ikeda khusus untuk Soka Gakkai Indonesia “Saya akan bertempur dengan hati [kesatuan] guru dan murid selama-lamanya.” Sejak itu, walaupun Ikeda Sensei tidak mengatakan dengan langsung kepada saya, saya merasa mendapat pesan dari Ikeda Sensei dalam hati saya: “Mau jadi apa pun boleh. Saya andalkan kamu untuk mewujudkan perdamaian dunia.” Saat itu, saya sedang mengalami kesulitan tentang masa depan saya.
Kadang-kadang hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah bisa terjadi. Namun saya yakin hal ini terjadi karena hati saya beresonansi dengan hati Ikeda Sensei. Bertemu atau tidak bertemu adalah hal yang tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah, sebagai murid kita harus mengetahui hati Ikeda Sensei.
Salah satu target saya saat sekolah di SMA Soka di Kansai adalah setelah lulus dapat masuk ke Universitas Soka Amerika. Saya ikut kelas khusus untuk persiapan ujian, dan nilai saya naik dibandingkan dengan nilai saat SMP. Namun, itu pun belum cukup untuk masuk ke universitas tersebut. Sambil mengikuti banyak aktivitas, saya berjuang belajar sedikit demi sedikit. Perjuangan sehari-hari saat itu sangat sulit bagi saya. Setiap hari adalah perang batin dengan diri sendiri. Tidak ada hari tanpa perang dengan mental saya sendiri. Saya mempertahankan mental saya untuk terus banyak belajar.
Pada tanggal 25 Februari 2017, saya mendapatkan email dari Universitas Soka Amerika bahwa saya tidak diterima. Saat itu, saya tidak punya tujuan lain selain melanjutkan studi saya ke Universitas Soka Amerika. Saya menjadi bingung dan kehilangan arah akan masa depan saya. Setelah mendapatkan pemberitahuan tersebut, saat itu juga saya menulis di catatan harian saya “Awal Dari Kehidupan Saya”.
Tanggal 16 Maret 2017 di upacara wisuda, saya bertekad lagi kepada Ikeda Sensei bahwa “Saya tidak akan dikalahkan oleh diri sendiri. Saya akan bangkit lagi.”
Beberapa hari setelah wisuda, saya pulang ke Jakarta. Tetapi, sejak saat itu kehidupan sehari-hari selama 3 tahun menjadi sangat sulit dan menderita bagi saya. Hal yang buat saya paling menderita adalah penyakit yang tiba-tiba muncul sejak kelas 3 SMA yaitu Gangguan Obsesif Kompulsif atau OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Penyakit ini adalah gangguan mental yang menyebabkan penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara berulang-ulang.
Gejala penyakit ini ada beberapa jenis. Salah satu yang cukup terkenal adalah orang yang tidak bisa berhenti cuci tangan karena dia berpikiran negatif yang mendorongnya untuk cuci tangan terus-menerus. Beberapa anggota keluarga dari ayah saya memiliki gejala ini dan saya adalah salah satunya. Bagi saya, hal terburuk dari gejala penyakit ini adalah saya tidak bisa membedakan imajinasi dan realitas. Saya merasakan seperti berada di neraka penderitaan yang tak putus-putus. Kehidupan saya bertambah buruk sehingga saya mulai suka berteriak sendiri di tengah malam dan tidak bisa keluar dari kamar sendiri karena takut bertemu orang. Saya mendengar dari teman yang juga memiliki gejala yang sama bahwa orang demikian ada kecenderungan susah untuk menceritakan masalahnya ke orang lain, termasuk keluarga sendiri. Sekitar dua tahun setelah gejala ini muncul, saya memutuskan untuk membicarakannya kepada orangtua saya.
Saya lalu mencoba mendaftar ke universitas di Belanda, tetapi ditolak karena sistem pendidikan yang saya ikuti di Jepang tidak memenuhi syarat mereka. Saya mengalami dilema dan kondisi mental saya terpuruk hingga titik nadir terburuk pada periode ini. Di satu sisi, saya takut pergi ke universitas karena harus bertemu orang-orang, tapi di satu sisi saya merasa gelisah karena teman-teman saya sudah kuliah. Sejak itu, saya mulai terapi ke dokter, dan walaupun awalnya cukup menderita, perlahan-lahan gejalanya mulai berkurang. Sekitar satu tahun berlalu, gejala ini sudah hampir hilang sehingga sedikit demi sedikit saya mulai bisa bertemu dengan orang.
Kegiatan Pameran Sutra Bunga Teratai 2019 telah melatih saya. Saya mulai melatih diri untuk bertemu teman-teman SGI dan mulai bisa merasakan kembali kesenangan berinteraksi dengan orang-orang. Walaupun awalnya masih belum ada niat untuk ikut dalam kepanitiaan, teman-teman panitia dan Ibu saya mendorong saya untuk ikut. Saya merasa tenang dan senang saat saya makan bersama teman-teman seperjuangan di Soka Gakkai. Mereka selalu memperhatikan semua orang. Saya mau berterima kasih kepada teman-teman panitia dan Ibu saya dari lubuk hati. Kadang-kadang ada baiknya kita harus dipaksa.
Suatu hari, sekitar 8 bulan lalu, teman Ibu saya yang tinggal di Bali mengajak saya untuk berkunjung ke Bali. Awalnya saya sangat gembira. Namun Ibu saya mengatakan, “Kamu harus mulai konsentrasi tentang masa depan kamu”. Saya setuju dengan kata-kata Ibu saya. Malam itu saya langsung buka internet untuk mencari informasi kuliah. Saya mencari situs ranking-ranking universitas di dunia, dan malam itu saya menemukan universitas peringkat ke-67 di bidang psikologi yang cocok buat saya yakni University of Padua (Padova) di Italia.
Beberapa bulan kemudian, saya langsung daftar ke universitas ini, dan sudah setengah proses diterima. Akan tetapi muncul dua masalah. Pertama, saya di peringkat ke-61 dari 402 orang, sedangkan universitas ini hanya menerima hingga urutan ke-31. Artinya, untuk bisa diterima, 30 orang di atas saya harus membatalkan pendaftaran mereka. Kedua, saya diberitahu universitas bahwa saya belum memenuhi syarat mereka. Mereka minta sertifikat ujian pusat dari Jepang yang saya tidak pernah ambil dan ujian ini hanya dilakukan setahun sekali di bulan Januari. Rasa cemas saya langsung muncul karena 2 tahun lalu saya juga ditolak oleh universitas di Belanda karena sistem pendidikan yang berbeda.
Saya mulai melantunkan daimoku dengan serius selama 4 jam sehari. Setiap kali daimoku, saya menaruh bimbingan Ikeda Sensei di depan Gohonzon:
Doa adalah keberanian untuk tidak menyerah; pertarungan untuk melawan ketidakpercayaan diri, keputusasaan, dan kelesuan; serta upaya untuk mengukir ke dalam jiwa sebuah keyakinan bahwa ‘Keadaan sekarang ini pasti dapat diubah!’ Doa adalah untuk menghancurkan rasa takut, mengusir duka nestapa, dan menyalakan api harapan. Sebuah revolusi untuk menulis ulang skenario nasib. Percaya pada diri sendiri! Tidak merasa rendah diri! Merendahkan diri berarti mengkhianati Buddhisme, dan memfitnah Dunia Buddha diri sendiri. Doa adalah tantangan untuk menyatukan roda gigi kehidupan kita dengan perputaran alam semesta. Dari kehidupan yang dirangkul alam semesta, menjadi kehidupan yang merangkul alam semesta. Sebuah awal dari drama yang memutarbalikkan kehidupan menuju kebahagiaan dan kebahagiaan, dengan menjadikan alam semesta di pihak kita. Manusia adalah manusia—Doa adalah ‘kunci’ untuk membuka lembaran-lembaran pintu potensi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
Setelah sekitar 2 minggu, saya menerima surel dari Universitas Padua bahwa saya sudah masuk ke dalam urutan ke-31. Satu masalah sudah teratasi, dan tinggal satu masalah lagi. Kalau mereka tetap minta Sertifikat Ujian Pusat dari Jepang yang saya tidak punya, pendaftaran saya akan dihapuskan. Saya mulai daimoku serius lagi. Saya menyebut bimbingan Ikeda Sensei di dalam hati tanpa keraguan. “Saya pasti akan belajar di Universitas ini!” Setelah beberapa minggu, mereka akhirnya memutuskan saya tidak perlu menyerahkan sertifikat tersebut. Setelah menerima email ini, saya langsung duduk di depan Gohonzon dan daimoku terima kasih. Doa saya 100% terkabul! Bukan 99,9999%.
Tiga tahun ini sama sekali tidak sia-sia. Saya memilih untuk belajar psikologi karena penyakit saya. Saya percaya ini adalah seperti yang Nichiren Daishonin katakan, “mengubah racun menjadi obat.” Ketika saya mengingat kembali semuanya, segala sesuatu yang saya alami seperti timbulnya penyakit dan akhirnya saya bisa menentukan belajar di jurusan psikologi seperti titik-titik yang tersambung secara menakjubkan dan menuntun kepada misi hidup saya.
Saya benar-benar berterima kasih kepada Ikeda Sensei, keluarga, teman-teman, dan senior-senior yang selalu mendukung saya. Saya benar-benar merasakan bahwa saya tidak dapat mencapai keinginan saya tanpa mereka.
Ada satu hal yang saya rasakan dalam hati, saya memiliki guru kehidupan, yaitu Nichiren Daishonin, Daisaku Ikeda, Josei Toda, dan Tsunesaburo Makiguchi. Walaupun muncul badai, mercusuar tidak akan berganti tempatnya. Cahayanya selalu ada di tempat yang sama. Tinggal kita pilih apakah mau mengikuti cahaya itu. Ikeda Sensei berkata, “Belajar di universitas demi membantu orang-orang yang tidak bisa kuliah”. Saya akan belajar sepenuh hati di Italia untuk membantu orang-orang yang tidak dapat belajar ke universitas. “Ikeda Sensei! saya pasti akan menang!”