Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

Saya sudah memeluk kepercayaan Buddhisme Nichiren Daishonin sejak lahir. Orangtua saya sangat aktif dalam Soka Gakkai sehingga masa kecil saya selalu disibukkan dengan kegiatan susunan. Pertemuan maupun kunjungan anggota ke luar kota merupakan rutinitas saya sejak kecil. Orangtua saya sering berkata bahwa saya adalah gadis yang berejeki dapat menjadi penganut Buddhisme ini, karena filosofi Sutra Bunga Teratai adalah filosofi yang paling unggul. Pada saat itu saya tidak benar-benar memahaminya, tetapi sekarang saya baru menyadari bahwa mereka telah memberikan saya sebuah warisan yang tak ternilai harganya. Pada kesempatan kali ini, saya ingin menceritakan bagaimana Buddhisme ini dapat membantu saya menjalani kehidupan yang menciptakan nilai.     

Saya belajar mengenai makna hidup dan istilah misi hidup dengan cara yang cukup istimewa. Walaupun saya anak tunggal, saya selalu merasa berkompetisi dengan Soka Gakkai untuk mendapatkan waktu dan perhatian dari orangtua saya. Dari hal kecil seperti selalu dijemput larut malam dari rumah tante saya karena orangtua menghadiri pertemuan di luar kota, hingga hal yang menurut saya cukup krusial seperti ketidakhadiran mereka saat hari ulang tahun atau upacara-upacara wisuda karena kebetulan ada acara Soka Gakkai yang bertepatan pada hari tersebut. Pada saat itu jujur saya merasa sangat kesepian. Rasa kesepian menumpuk seiring berjalannya waktu sampai saya menginjak usia remaja, dan saya mulai menyalahkan Soka Gakkai atas apa yang saya rasakan. Saya memahami konsep kosen-rufu, saya melihat langsung dampak positif dari susunan Soka Gakkai. Namun saya tidak memahami mengapa saya tidak bisa menjadi prioritas orangtua saya. Kemudian suatu hari, saya bertanya kepada Papa saya yang terlihat sangat kelelahan karena kesibukannya yang padat, “Papa selalu kelelahan. Apakah Papa bahagia dengan hidup seperti ini?” Lalu, Papa menjawab singkat sambil setengah tertidur, “Saya bahagia, karena yang terpenting adalah nilainya.” Emily bersama kedua orangtuanya.

Jawaban Papa pelan-pelan mulai mengubah pola pikir saya. Ini adalah hidup Papa saya. Beliau sedang berjuang menjalani misi hidupnya. Jadi mengapa saya harus merasa terganggu dengan hal tersebut? Semua orang pasti memiliki tujuan dan perannya masing-masing di dunia. Saya membayangkan pasti tidaklah mudah untuk secara konsisten berjuang demi mewujudkan tujuan tersebut. Pastinya sangat sulit ketika mereka harus dihadapkan pada situasi untuk memilih antara saya atau menjalankan misi kosen-rufu. Rasa kesal yang bertumpuk perlahan berubah menjadi rasa kagum. Saya berpikir, walaupun kami satu keluarga, kami tetaplah individu yang berbeda. Kami bertiga pasti berjodoh menjadi satu keluarga karena karma kami, dan karena itu kami dapat saling melengkapi.

Saya mulai fokus menjalankan hidup saya sendiri, dan melakukan eksplorasi diri tentang apa yang saya minati. Saya berfokus pada hal yang dapat membuat saya senang. Ternyata saya merasa paling senang ketika sedang menciptakan sesuatu, menuangkan ide menjadi sesuatu yang nyata. Dari lukisan yang bersifat ornamental, hingga produk yang fungsional. Oleh karena itu, saya memutuskan bahwa saya ingin menjadi seorang desainer ketika dewasa. Mengikuti keputusan tersebut, saya pun memilih jurusan desain produk saat berkuliah. 

Pada tanggal 1 Desember 2013, saya berkesempatan menerima gohonzon saya sendiri. Saya berkeinginan menerima gohonzon karena saya sudah mulai tinggal sendiri, dan merasa yakin dapat bertanggung jawab atas kepercayaan saya. Dua tahun kemudian, saya juga diberikan kesempatan berharga untuk menjadi penanggung jawab bagian pelajar di area Jakarta, hal ini semakin memperkuat hati kepercayaan saya secara signifikan. Merasa suasana jiwa saya mulai meningkat, saya mendapat keberanian untuk memutuskan spesialisasi produk yang ingin saya fokuskan, yaitu desain perhiasan. Pada saat itu, saya merasa menemukan impian hidup saya, yaitu mengembangkan brand perhiasan milik saya sendiri. Belajar dari etos kerja orangtua saya, saya sangat fokus dan konsisten dalam menggapai mimpi saya. Saya mulai magang di perusahaan perhiasan sambil berkuliah. Kemudian setelah lulus kuliah, dengan penuh ambisi saya langsung melanjutkan brand perhiasan saya sendiri, sambil tetap bekerja di perusahaan perhiasan lainnya untuk mencari pengalaman dan modal usaha. Setiap hari, saya berjuang sepenuh hati untuk mencapai mimpi saya. Saya pun mulai memahami Papa, lelah tetapi senang karena merasa semakin dekat dengan tujuan. 

Pada saat yang bersamaan, Mama sangat mengharapkan saya mengambil gelar magister di Universitas Soka. Namun saat itu saya sedang senang-senangnya bergulat untuk menggapai mimpi saya, sehingga sering waktu saya abaikan masukan beliau. Akan tetapi rasa penasaran membuat saya seringkali mengecek website Universitas Soka Jepang (SUJ) dan Universitas Soka Amerika (SUA), hingga suatu hari saya mendengar kabar bahwa akan dibuka fakultas baru di SUJ. Fakultas tersebut bernama Studi Perdamaian Internasional (School of International Peace Studies). Pertama kali saya mendengarnya sudah merasa tidak mungkin bisa cocok mempelajari ilmu perdamaian. Namun, saya membaca bahwa Ikeda Sensei sudah pernah melakukan dialog dengan Johan Galtung—pendiri utama dari ilmu perdamaian dan konflik—pada tahun 1995. Saya berpikir, berarti bahkan sebelum saya lahir Ikeda Sensei sudah merencanakan untuk membuka fakultas ini di Universitas Soka, dan baru akhirnya terwujud setelah saya berusia 21 tahun. Saya merasa setidaknya harus menghargai hati Sensei dengan mempelajari lebih jauh mengenai fakultas ini sebelum menutup diri begitu saja. 

Setelah melakukan sedikit riset mengenai ilmu perdamaian, saya mulai terekspos dengan masalah-masalah yang terjadi di dunia dan di lingkungan saya sendiri yang tidak saya ketahui sebelumnya. Pikiran pertama yang terlintas adalah, “Apa solusi yang bisa saya ciptakan?”, karena di dalam dunia desain produk pola pikir saya terbiasa untuk berangkat dari permasalahan. Saya mulai sadar bahwa selama ini saya terlalu fokus di dalam dunia saya yang sangat kecil, dan mengabaikan bagian dunia lain yang ternyata sangat luas. Pertanyaan-pertanyaan lain terlintas di pikiran saya, “Lalu apalah artinya kalau brand saya sudah berkembang dan besar?”, “Apakah ketika itu terwujud, hidup saya akan menjadi bernilai?” Saat memikirkan hal-hal ini, saya merasa tujuan hidup saya sangat terbatas dan egosentris. Saya merasa kehilangan arah dan merasa semua kerja keras saya selama ini disalurkan pada jalan yang kurang tepat. Tidak tahu harus berbuat apa, saya hanya bisa berdaimoku agar dapat memilih keputusan yang paling tepat. Mama juga sangat mendukung dan mengirimkan banyak daimoku untuk saya.

Beberapa minggu kemudian, saya merasa seperti mendapatkan titik terang dari doa saya. Saya mendapat kabar bahwa saya berkesempatan untuk menghadiri konferensi di Universitas Harvard selama seminggu yang sedikit banyak akan membahas mengenai ilmu perdamaian dan pelucutan senjata nuklir. Merasa ini keputusan yang tepat, saya langsung memutuskan untuk mendaftar di Universitas Soka saat itu juga, dan melakukan persiapan sematang mungkin dengan kapasitas pengetahuan saya dalam bidang ini yang seadanya. Saya pun mengundurkan diri dari perusahaan saya bekerja, dan sementara menghentikan penjualan untuk brand milik saya sendiri. Semua berjalan sesuai doa saya. Saya mendapat kabar bahwa saya resmi diterima di Universitas Soka Jepang sebagai murid angkatan pertama dari fakultas Studi Perdamaian Internasional.

Perjalanan akademis saya di Jepang cukup menantang karena saya harus memulai segalanya dari nol lagi. Sebagai bagian dari 13 murid angkatan pertama dari fakultas yang Sensei impikan sejak lama, saya bertekad untuk tidak boleh mengecewakan Sensei dengan hanya memberikan tenaga dan hasil yang setengah-setengah. Satu-satunya cara saya dapat membalas budi pada Sensei adalah dengan belajar sungguh-sungguh, dan mengaplikasikan ilmu tersebut untuk membuat perubahan. Saya juga berkesempatan untuk melakukan presentasi dalam beberapa konferensi selama di Jepang dengan membawa nama fakultas Studi Perdamaian Internasional dari Universitas Soka, dan menyebarkan ide di balik tesis saya ke banyak orang. Selain dalam tesis saya, untuk mengaplikasikan teori yang saya pelajari secara nyata, sambil berkuliah saya pun memulai gerakan untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan, menghapuskan kekerasan dan penindasan berbasis gender, dan kesetaraan gender di Indonesia melalui media sosial. Saya juga menyiratkan filosofi Buddhisme mengenai perdamaian dan beberapa kutipan Ikeda Sensei. Ternyata, hal ini berdampak cukup positif untuk beberapa perempuan Indonesia. Saya menyadari bahwa saya dapat menggunakan media ini untuk melaksanakan kosen-rufu dan menciptakan nilai dengan cara saya sendiri. Sesuai dengan motto SUJ-“Temukan potensi Anda”, saya benar-benar menggali potensi terdalam saya selama di Jepang dan melakukan banyak hal yang saya kira mustahil. Akhirnya, pada bulan Maret tahun ini saya mendapatkan gelar master saya dengan hasil yang memuaskan. Walaupun upacara wisuda dilaksanakan di tengah pandemi, saya sangat berejeki dan bahagia karena kedua orangtua saya dapat hadir.

Saya merasa pengalaman saya dengan makna misi hidup sangat sesuai dengan kutipan Ikeda Sensei berikut, “Apabila kita hanya peduli dengan diri kita sendiri, akan sulit untuk menemukan maksud atau tujuan yang benar-benar mendukung dalam hidup. Namun jika kita mengubah perspektif kita dan mulai berpikir tentang apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain dan masyarakat, jalan ke depan akan terbuka.” Saya benar-benar merasa kata-kata Ikeda Sensei ini sangat akurat. Ketika saya berdaimoku dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tujuan kosenrufu, pasti akan selalu ada jalan. 

Sesaat sebelum saya lulus, jalan lain sudah terbuka untuk saya. Saya berhasil diterima dalam program magang di salah satu organisasi internasional di Thailand, setelah melewati proses seleksi yang cukup ketat—hanya belasan orang yang terpilih dari ratusan pendaftar—walaupun akhirnya harus ditunda beberapa bulan dikarenakan pandemi Covid-19. Namun saya sangat berejeki, karena ketika di tengah pandemi banyak orang yang kehilangan pekerjaan, perusahaan perhiasan tempat saya bekerja sebelumnya malah memperkerjakan saya kembali dengan gaji yang lebih tinggi, dan bersedia untuk mengkontrak saya hanya untuk 5 bulan sampai waktu magang saya tiba. Pada saat yang bersamaan, sebuah galeri seni juga menghubungi saya untuk memamerkan lukisan saya di sana, dan membantu mempromosikan lukisan saya dalam berbagai pameran, tanpa mengganggu rencana atau aktifitas saya sedikitpun. Terlebih, konsep dari lukisan-lukisan saya semuanya juga mempromosikan ide pemberdayaan perempuan, sehingga kesempatan ini tentunya membantu memperluas gerakan saya untuk melaksanakan misi kosenrufu dengan cara saya sendiri. Rejeki yang saya dapatkan tidak akan saya peroleh apabila saya tidak berada di dalam susunan Soka Gakkai dan mengenal sosok Ikeda Sensei.

Saya sangat berterima kasih kepada orangtua saya yang memperkenalkan saya pada Buddhisme ini sejak usia dini. Buddhisme ini adalah pilar terpenting dalam hidup saya, yang menjadi pegangan hidup saya untuk dapat menemukan jalan keluar ketika berada dalam tantangan. Filosofi teragung yang mengajarkan bahwa sumber kekuatan saya ada di dalam diri saya sendiri, dan hanya saya yang bisa memunculkannya. Karena Buddha tidak dapat ditemukan di luar dari diri saya, Buddha adalah sifat jiwa yang harus saya munculkan. 

Sekarang, jalan hidup saya ke depannya masih merupakan misteri bagi saya. Namun saya tidak khawatir sedikit pun karena saya memiliki amunisi masa depan paling berharga, yaitu hati kepercayaan saya. Dengan memiliki tujuan untuk misi kosen-rufu, kekuatan dari daimoku, dan bekerja keras, saya yakin hidup saya akan selalu menciptakan nilai.