Previous
Bagian ketiga dari seri sepuluh proposal perdamaian Presiden SGI Daisaku Ikeda 2017, "Solidaritas Kaum Muda Global: Menyongsong Era Harapan Baru."Tantangan kedua adalah meletakkan dasar-dasar bagi masyarakat untuk bisa mengatasi perpecahan dan ketimpangan.
Dengan kemajuan globalisasi yang pesat, makin banyak saja warga yang menjalani hidup di negara-negara yang bukan merupakan tempat kelahirannya. Sejak awal abad dua puluh satu, sudah ada peningkatan sebanyak 40 persen jumlah orang-orang seperti itu yang kini mencapai 244 juta warga. [20]
Dengan ekonomi global yang terus saja mandek, sikap cenderung anti asing menguat dan menimbulkan kondisi yang kian berat bagi para migran dan keluarga mereka.
Mantan Kanselir Austria Franz Vranitzky mengangkat persoalan ini ketika ia bicara di konferensi antar agama di Vienna tiga tahun lalu. Dengan mempertimbangkan bahwa kecenderungan globalisasi dan integrasi kian meningkat, kecenderungan solidaritas menurun, dia menyampaikan:
Di sebagian besar negara-negara Eropa, solidaritas menurun terhadap para migran dan pemohon suaka politik. Saya merasa perlu untuk menunjukkan keprihatinan bahwa sewaktu tiba masanya berkampanye, sebagian besar pemimpin politik yang ingin meningkatkan peluangnya, akan mengesampingkan solidaritas terhadap mereka yang miskin yang datang dari luar negeri. [21]
Di tahun-tahun belakangan ini ada kekhawatiran yang terus meningkat, bukan hanya di Eropa, tapi juga di seluruh dunia tentang mencuatnya ujaran kebencian yang memuat diskriminasi dan tentang wacana politik anti asing.
Berkaitan dengan KTT PBB untuk persoalan Pengungsi dan Migran pada bulan September lalu, suatu kampanye baru diluncurkan untuk menanggapi dan mengalihkan kekhawatiran terkait peningkatan pergerakan warga secara internasional. Jelaslah bahwa setiap upaya untuk mengatasi isu-isu ini harus mempertimbangkan juga berbagai kekhawatiran yang sah yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup di negara penerima migran dan pengungsi. Sebagaimana yang ditekankan oleh PBB di dalam kampanye ini, adalah penting untuk mengupayakan cara-cara yang membalikkan arus anti asing dan melakukan pemanusiaan wacana seputar populasi migran dan pengungsi sewaktu membahas persoalan ini.
Sewaktu saya berjumpa dengan mantan kanselir Vranitzky di bulan Oktober 1989, kami mendiskusikan pentingnya pertukaran pemuda dan budaya dan dia menekankan bahwa “Adalah jarak di hati yang paling penting ketimbang jarak yang diukur dengan jumlah angka jam dalam perjalanan di pesawat.” [22]
Ia juga menceritakan kepada saya kisah tentang orang tuanya yang menampung sepasang pengungsi Yahudi yang lari dari hukuman mati di masa Perang Dunia II. Kedua orang tuanya bertindak tanggap di bawah ancaman berat dengan rasa kemanusiaan yang tak lekang dan tanpa membeda-bedakan atas dasar agama atau suku. Sambil mengenang pengalaman di masa perang ini, sang kanselir menyimpulkan:
Ada satu pepatah Latin “Bila engkau menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang.” Namun saya sudah menggantinya dengan yang berikut ini sebagai dasar bagi saya bertindak “Bila engkau menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berdamai.” [23]
Pertemuan kami berlangsung hanya sebulan sebelum Tembok Berlin runtuh. Di bulan Februari tahun itu, Kanselir Vranitzky telah setuju untuk mengangkat bentangan pagar kawat duri di sepanjang perbatasan Austria Hungaria. Ini secara resmi membuka jalan bagi pergerakan orang-orang dari Blok Timur ke Blok Barat yang dimulai pada bulan September dan menyebabkan runtuhnya Tembok Berlin di bulan November.
Richard von Weizsäcker (1920-2015), Presiden pertama Jerman Bersatu, menggambarkan Tembok Berlin sebagai politik penyangkalan kemanusiaan dalam bentuk batu. [24] Kita selayaknya tidak mengizinkan pemilahan keji semacam itu terulang di abad dua puluh satu ini. Bahkan bila ada rasa nyaman yang dirasakan oleh orang-orang yang dikelilingi oleh mereka yang berbudaya dan ras yang sama, kita mesti waspada terhadap bahaya betapa kesadaran kelompok ini bisa berubah menjadi diskriminasi keji atau antagonisme yang diarahkan kepada kelompok-kelompok lainnya pada waktu ketegangan sosial meningkat. Sebelumnya, saya telah merujuk pada anjuran Shakyamuni agar kita tidak menghakimi berdasarkan kelahiran melainkan perilaku. Menggolongkan dan mendiskriminasi individu-individu atas dasar satu hal saja adalah tindakan keliru; itulah sumber perpecahan yang melemahkan masyarakat sebagai satu kesatuan.
Bila menyaksikan masyarakat dunia saat ini, ada satu isu yang dapat dikatakan tumbuh dari kekuatan yang sama dalamnya dengan sikap anti asing. Itulah kecenderungan untuk memprioritaskan rasionalitas ekonomi berdasarkan pasar di atas segalanya. Kita melihat ini di banyak negara yang sedang berjuang menghadapi kemandekan ekonomi. Dampak negatifnya menimpa paling berat sektor masyarakat yang paling rentan, yang kondisinya sudah kian memprihatinkan.
Memang fakta bahwa pengejaran rasionalitas ekonomi itu telah memunculkan energi yang telah memicu pertumbuhan. Namun itu hanyalah sebagian dari gambaran keseluruhan. Bila prioritasi rasionalitas ekonomi dijadikan pertahanan, bahkan penilaian paling penting akan dibuat dengan cara yang semi mekanis, dengan hanya memberikan sedikit perhatian pada keinginan dan kesejahteraan orang-orang yang menjalani hidup secara nyata di dalam masyarakat.
Pemikiran xenofobia atau anti asing itu diperkuat oleh ketimpangan dunia yang mencolok antara yang baik dan yang jahat. Pemikiran itu tidak memberi ruang bagi keraguan ataupun keberatan-keberatan. Sama halnya, ketika upaya rasionalitas ekonomi tidak diseimbangkan dengan unsur manusiawi, maka akan muncul suatu psikologi yang siap menggerus bahkan pengorbanan paling ekstrem dari orang lain.
Tokoh ekonom Amartya Sen menawarkan beberapa panduan penting dalam mempertimbangkan isu-isu ini dalam tulisannya tentang kesejahteraan sosial. Dalam menguraikan analisisnya, Sen mengalihkan fokus pada sastra kuno India tentang etika dan yurisprudensi, dan mendalami dua kata yang digunakan untuk menjelaskan gagasan tentang keadilan, yakni niti dan nyaya.
Menurut Sen, niti berkaitan dengan kepantasan lembaga, peraturan dan organisasi, sementara nyaya berkaitan dengan apa yang muncul beserta seluk-beluknya, khususnya “kehidupan yang mampu dijalani orang-orang secara nyata.” [25] Ia menekankan bahwa “peran lembaga-lembaga, peraturan, dan organisasi itu kendati sangat penting, tapi tetap harus dinilai dalam perspektif yang lebih luas dan lebih inklusif, yaitu perspektif nyaya yang tak terelakkan berkaitan dengan dunia yang benar-benar nyata, bukan hanya sebatas lembaga atau peraturan yang kita miliki.” [26]
Lebih jauh lagi, Sen membandingkan politik India kuno yang dijalankan oleh Raja Asoka dan Raja Kautilya, sang penasehat utama kakek Asoka. Kautilya adalah penulis karya mashur dalam bidang ekonomi politik, dan fokus minatnya adalah keberhasilan politik dan peran lembaga dalam mewujudkan efisiensi ekonomi.
Sebaliknya, politik Asoka selalu berfokus pada perilaku dan tindakan 40 individu. Menurut Sen, pemikiran Asoka memuat suatu keyakinan bahwa “pengayaan sosial itu dapat dicapai melalui perilaku terpuji warga dengan kesadaran sendiri, tanpa diwajibkan dengan paksa.” [27]
Pandangan Asoka ini berkembang dari pendalamannya terhadap keyakinan Buddhisme yang telah ditekuninya setelah ia disiksa oleh penyesalan atas pembantaian yang diakibatkan oleh invasinya ke negara lain.
Ide tentang Jalan Tengah adalah ide mendasar dalam Buddhisme. Bila kita melihatnya dari konsep nyaya, ini berarti selalu meninjau dampak tindakan diri sendiri terhadap orang lain dengan menggunakan kebahagiaan dan kesengsaraan sebagai tolok ukur pemikiran dan tindakannya.
Niti, pada gilirannya menempati posisi penting dalam masyarakat kontemporer. Sebagaimana yang ditekankan oleh Sen, “Banyak ekonom kini, tentu saja ikut berpandangan seperti Kautilya di tengah manusia yang serakah.” [28] Dalam hal ini meletakkan penekanan berlebihan pada angka: pada kecepatan pertumbuhan atau maksimalisasi keuntungan. Dan karena kepentingan kelompok rentan sulit diukur dengan angka, mereka seringkali ditelantarkan dan bahkan diabaikan.
Sikap anti asing dan ujaran kebencian membelah dunia menjadi dua kubu, kita dan mereka, dan menghubungkan kubu kita di pihak baik, kubu mereka di pihak jahat.
Pegangan sosial apakah yang tersedia untuk melawan sikap anti asing yang menguatkan perpecahan masyarakat, ataupun upaya rasionalitas ekonomi yang tak peduli meski mengorbankan pihak yang rentan? Saya yakin jawabannya dapat ditemukan dalam hubungan-hubungan yang kuat di antara manusia, jenis pertemanan yang mencuatkan gambaran konkret pihak lain di hati kita.
Mengutip sejarawan Inggris terkenal Arnold J. Toynbee (1889- 1975), yang pernah berdialog panjang dengan saya:
Dari pengalaman saya, solusi untuk prasangka tradisional itu terdapat di dalam jalinan hubungan pribadi. Bila orang sudah secara pribadi kenal dengan seorang manusia lainnya, apapun agama, kebangsaan, atau rasnya, ia tidak akan luput dari beranggapan bahwa orang itu adalah manusia juga seperti dirinya. [29]
Dalam berbagai upaya saya untuk melibatkan diri dalam perjumpaan dan interaksi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, selalu saja terasa dengan jelas betapa bernilainya persahabatan. Dari hampir delapan puluh dialog yang sudah saya publikasikan selama bertahun-tahun itu, masing-masing telah membuktikan suatu kerinduan akan perdamaian di antara keyakinan dan pengalaman hidup yang beragam; masing-masing merupakan kristalisasi pertemanan dan keinginan bersama untuk mengkomunikasikan pelajaran-pelajaran sejarah kepada generasi yang sedang berkembang.
Kondisi-kondisi yang dihadapi oleh para imigran muncul sebagai sebuah topik dalam diskusi saya dengan dua ilmuwan Amerika, Dr. Larry Hickman dan Dr. Jim Garrison, keduanya adalah mantan presiden John Dewey Society. Saat itu kami tengah mendiskusikan prakarsa kegiatan sosial yang dilakukan oleh Jane Addams (1860-1935) di Amerika sekitar peralihan abad dua puluh.
Setelah mengunjungi dan terkesan oleh Toynbee Hall, yaitu suatu fasilitas sosial di London yang secara kebetulan menggunakan nama paman Dr. Toynbee, Addams memutuskan untuk membangun fasilitas yang sama di negerinya. Kebanyakan orang-orang yang tinggal di sekitar Hull House di Chicago adalah para imigran miskin. Menurut salah satu biografi tentang Addams, Hull House digambarkan sebagai:
. . . semacam pulau yang menawarkan kesempatan untuk bernapas lebih bebas bagi para imigran. Di situ mereka bisa menggunakan bahasa mereka sendiri, memainkan musik mereka, menjalani hidup dalam kebudayaan mereka sendiri . . . [30]
Dengan bantuan Addams dan teman-temannya, para imigran ini sanggup membangun dasar-dasar kehidupan baru mereka di Amerika.
Addams selalu termotivasi oleh keyakinan bahwa ada nilai yang jauh lebih besar yang dapat diwujudkan dengan menyatukan banyak orang ketimbang dengan memisah-misahkan mereka. Orang-orang muda yang merasa terinspirasi olehnya lalu menjadi generasi pertama ilmuwan-ilmuwan sosial dan pekerja sosial. Dengan riset dan kerja lapangan mereka yang konsisten, kerangka dukungan legal bagi para imigran dan orang orang miskin mengalami reformasi.
Dr. Hickman mencatat bahwa aktivitas-aktivitas Addams memberikan pelajaran penting bagi kita sewaktu kita menghadapi berbagai tantangan dunia yang makin terglobalisasi. Saya setuju sepenuhnya.
Salah seorang yang bekerja dengan Addams di Hull House mengatakan bahwa mereka tidak punya harapan muluk-muluk untuk memperbaiki seluruh dunia, tetapi selalu hanya ingin berteman dengan mereka yang merasa kesepian. [31] Addams sendiri ternyata menganut semboyan yang sama. Dia mendorong para koleganya untuk saling berteman dan bertetangga dengan mereka yang membutuhkan teman.
Mereka dapat mengajari kita apa makna hidup itu sebenarnya. Kita bisa melihat kekurangan-kekurangan dari peradaban yang telah kita agung-agungkan. [32]
Interaksi pertemanan antara satu orang dengan orang lainnya dapat menggugah hati orang dan mendorong mereka untuk menjalani hidup secara lebih bermakna.
Mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid (1940-2009) mengingatkan kita agar tidak tersapu oleh konflik yang dikonsep yang seringkali didesas-desuskan secara nyaring dalam masyarakat. Selama bertahun-tahun, mendiang presiden ini memimpin pergerakan besar Muslim di Indonesia. Ia menyangkal benturan peradaban yang tak terelakkan dan menekankan bahwa tantangan terbesar kita adalah mengatasi kesalahpahaman dan prasangka kita terhadap orang lain. [33]
Dalam dialog kami, dia berulang kali menyatakan betapa pentingnya pertemanan. Ia memberikan ilustrasi pengalamannya sendiri sewaktu kuliah di luar negeri dan mengungkapkan harapannya yang besar terhadap dampak pertukaran orang-orang muda. “Keinginan saya yang paling dalam adalah agar mereka tidak menjadi individu-individu yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi juga peduli akan kepentingan masyarakatnya dan bertindak mendukung perdamaian dan keharmonisan dunia.” [34]
Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang menjalin hubungan pertemanan dengan individu-individu dari berbagai latar belakang budaya dan agama, dalam upaya untuk membangun solidaritas untuk perdamaian yang lebih luas, saya sangat mengapresiasi pentingnya pernyataan Bapak Wahid ini.
Pada tahun 1996, saya mendirikan Institut Toda untuk Penelitian Kebijakan dan Perdamaian Global (Toda Institute for Global Peace and Policy Research) untuk melestarikan warisan Josei Toda dan visinya tentang kewargaan global dan dunia yang bebas dari senjata nuklir. Ilmuwan bidang perdamaian asal Iran Dr. Majid Tehranian (1937-2012) yang sudah lama menjalin pertemanan dengan saya, memberikan penghormatan kepada kami dengan menjabat sebagai direktur pertama lembaga itu.
Dunia ini tidak hanya terdiri dari himpunan negara-negara, atau hanya terdiri dari berbagai agama dan peradaban. Dunia tempat kita hidup dan bernapas ini adalah rajutan kiprah-kiprah manusia yang mungkin memiliki latar belakang yang sama.
Memandang dan menghakimi manusia lain hanya berdasarkan agama atau ras belaka menyimpangkan realitas yang mahaluas yang masing-masing kita miliki sebagai individu. Sebaliknya, bila kita memiliki apresiasi yang mendalam terhadap nilai unik masing-masing, maka lewat hubungan pertemanan pribadi, perbedaan ras atau agama akan semakin bercahaya dengan keluhuran dan nilai dari teman itu, dan bersinar sebagai nilai keragaman.
Medan magnet pertemanan dapat membangkitkan fungsi kompas batin sewaktu kita kehilangan arah, dan membantu kita meluruskan masyarakat sewaktu terlihat melenceng dari jalur.
Itulah pemikiran yang mendasari upaya-upaya SGI yang konsisten dan aktif untuk mendorong pertukaran masyarakat sipil, terutama di kalangan pemuda, dengan mengupayakan perjumpaan tatap muka secara langsung yang bisa menumbuhkan hubungan pertemanan yang tulus. Ikatan pertemanan bisa menjadi dasar untuk melawan arus kebencian dan hasutan yang kerap muncul tatkala terjadi peningkatan ketegangan di antara negara-negara atau konflik yang makin parah di antara berbagai tradisi keagamaan. Membayangkan masing-masing wajah teman, bertekad untuk tidak membiarkan masyarakat menjadi tempat yang membuat mereka merasa tidak diterima, kita dapat menciptakan suatu transformasi dari konflik ke kehidupan bersama yang harmonis, mulai dari lingkungan terdekat kita. Kita berharap dapat memunculkan secara global generasi manusia yang meyakini perdamaian dan yang membangun jembatan pertemanan serta memutus mata rantai reaksi kebencian dan kekerasan.
Di atas segalanya, ada kegembiraan yang terdapat di dalam percakapan dengan seorang teman. Persahabatan membuat percakapan menjadi kesenangan dan sumber semangat. Kegembiraan itu menyangga kita dan membangkitkan keberanian untuk melawan situasi-situasi yang paling berat sekalipun.
Kebangkitan semangat persahabatan di kalangan generasi muda tidak akan meleset dalam mengubah masyarakat. Saya yakin bahwa persahabatan di kalangan kaum muda akan ampuh membalikkan arus perpecahan dan melahirkan masa depan perdamaian yang gemilang dengan menjunjung kehormatan yang mendalam terhadap keberagaman.
Sumber dari : website Soka Gakkai International www.sgi.org