Konsep #2: Mengubah Racun Menjadi Obat
Tantangan dapat Mengokohkan Pertumbuhan dan Kebahagiaan Kita
"Saya tidak dekat dengan anak saya. Dia merasa jenuh dan terkurung di rumah, jadi lebih suka pergi bersama teman-temannya," kata seorang anggota Soka Gakkai. "Saya mau memperbaiki hubungan kami supaya bisa lebih akrab dan saling membuka hati. Saya melantunkan Nam-myoho-renge-kyo untuk mengubah racun ini menjadi obat. Kami mulai jalan sore bersama, mengobrol tentang film dan lagu kesukaan kamu. Kemarin, saya mendengar dia berkata kepada teman kelasnya, 'Ayahku adalah teman baik baruku.'"
Tekadnya untuk "mengubah racun menjadi obat" melambangkan ketetapan hati banyak anggota Soka Gakkai yang lain. Seperti banyak orang lainnya, anggota Soka Gakkai berjuang dalam kehidupan di masa kini yang makin rumit dan tak menentu. Ada yang menghadapi masalah penyakit, stres dan depresi, kesulitan keuangan, serta bergulat dengan berbagai tantangan lainnya. Namun, mereka berulang kali membuktikan bahwa penderitaan terburuk kita dapat menjadi tenaga pendorong terhebat untuk menciptakan kebahagiaan yang abadi.
Salah seorang tokoh dalam novel The Count of Monte Cristo, Abbé Faria, berkata, "Kemalangan dibutuhkan untuk mengukur dalamnya pikiran manusia yang misterius. Tekanan diperlukan untuk meledakkan muatan listrik. ... Tabrakan awan menghasilkan listrik, listrik menghasilkan kilat, dan kilat menghasilkan cahaya." 1
Mengubah Keinginan Duniawi, Karma, dan Penderitaan Menjadi Kebenaran, Kearifan, dan Kebebasan.
Aksara myo dalam judul Sutra Bunga Teratai dapat berarti "menakjubkan" atau "gaib". Cendekiawan besar agama Buddha, Nagarjuna2, menjelaskan bahwa aksara myo ini "ibarat tabib agung yang dapat mengubah racun menjadi obat" ("Apa Artinya Mendengar Kendaraan Buddha", The Writings of Nichiren Daishonin, Jilid 2, 743).
Mengenai pernyataan ini, Nichiren Daishonin menulis sebagai berikut.
Apa yang menjadi racunnya? Keinginan duniawi, karma, dan penderitaan kita, yang diistilahkan sebagai tiga jalan. Lalu apa obatnya? Obatnya adalah [kebenaran hakiki alam semesta atau] tubuh Dharma, kearifan, dan kebebasan [yang diistilahkan sebagai tiga kebajikan]. Lantas apa artinya mengubah racun menjadi obat? Artinya adalah mengubah tiga jalan ini menjadi tiga kebajikan.
(WND-2, 743)
Di sini, racun merujuk pada "tiga jalan", yaitu "keinginan duniawi" yang digerakkan oleh dorongan sesaat yang sesat dari keserakahan, kemarahan, dan kebodohan; "karma", yaitu tindakan negatif yang didorong oleh keinginan; serta "penderitaan" yang timbul dari keinginan duniawi dan karma. Siklus yang negatif ini menyebabkan kehidupan yang terjerat kesengsaraan, meski kita sudah melakukan usaha terbaik untuk memperbaikinya.
Jika aliran-aliran lain dalam agama Buddha mengajarkan bahwa kita harus menghilangkan keinginan duniawi, karma, dan penderitaan untuk mencapai pencerahan, Nichiren Daishonin mengajarkan bahwa, dengan melantunkan Nam-myoho-renge-kyo, kita mengubah racun keinginan kita menjadi obat berupa "tiga kebajikan". Tiga kebajikan ini adalah "tubuh Dharma" atau hukum hakiki alam semesta, atau kebenaran, yang disadari oleh para Buddha; "kearifan", yakni kapasitas untuk mewujudkan dan menggunakan Dharma dalam kehidupan; dan "kebebasan", yaitu kondisi batin yang sepenuhnya bebas dan tidak terpengaruh oleh penderitaan kelahiran dan kematian.
Ikeda Sensei mengatakan sebagai berikut.
Hukum Nam-myoho-renge-kyo memampukan manusia biasa, yang jiwanya dicemari kesesatan, untuk mencapai Kebuddhaan dalam kondisi apa adanya, tanpa memusnahkan keinginan maupun penderitaan. ...
Meski kita sendiri mungkin sedang menderita, bingung, atau bersusah hati akibat keinginan duniawi, ketika kita menerangi jiwa kita dengan kearifan dari pencerahan, kita dapat bergerak menuju harapan dan mengubah racun menjadi obat.
Dengan memahami keinginan duniawi dan penderitaan kita secara apa adanya serta menghadapinya dengan berani, kita dapat membuka Kebuddhaan dalam jiwa kita dan membangun kondisi yang penuh kebahagiaan.
Kesulitan tidaklah terhindarkan. Namun, dengan mengaktifkan sifat Buddha bawaan, kita dapat menyelesaikan semua masalah apa pun. Daripada mengeluhkan kesulitan, kita haruslah menganggapnya sebagai peluang untuk mengeluarkan sumber daya batin kita, yaitu harapan, keberanian, welas asih, kreativitas, dan semua kualitas gemilang dalam diri kita.
Catatan kaki:
1. Alexandre Dumas, The Count of Monte Cristo, (London: Penguin Books, 2003), hlm. 160.
2. Nagarjuna: Seorang cendekiawan Mahayana yang diperkirakan hidup antara tahun 150 dan 250 M. Banyak tulisannya mengangkat Buddhisme Mahayana dan berpengaruh besar pada Buddhisme di Tiongkok dan Jepang.