Next
Dr. Wangari Maathai, penerima hadiah Nobel Perdamaian 2004 asal Kenya, melakukan perjalanan keliling dunia dalam upaya yang sangat mendesak untuk melindungi lingkungan alam kita sambil menyerukan pepatah Jepang “Mottainai”. Mengapa kata dalam bahasa Jepang ini—yang berarti “Sayang sekali” atau “sungguh sayang disia-siakan”—begitu tertanam di pikiran Dr. Maathai? Ketika saya melihatnya tersenyum saat kami bertemu di tahun 2005, saya langsung memahaminya: karena Wangari juga adalah Ibu Gerakan Sabuk Hijau, yakni gerakan akar rumput yang menanam pohon di banyak negara Afrika.
Dalam 30 tahun terakhir, para wanita miskin di pedesaan telah ikut bersama Wangari dalam menanam lebih dari 30 juta pohon di seluruh Afrika. Mereka terdiri dari para wanita yang harus bangun pagi-pagi dan berjalan bermil-mil setiap hari, sambil menggendong bayi-bayi mereka di punggung, untuk mencari air dan kayu bakar. Gerakan ini membuat hidup mereka menjadi lebih mudah, dan pada saat yang sama juga melindungi lingkungan alam yang memang merupakan gerakan dari para ibu, untuk para ibu, dan oleh para ibu.
Tidak heran bahwa Wangari, yang telah memimpin gerakan demikian selama beberapa dekade, terkesan oleh kearifan para ibu Jepang yang ditunjukkan oleh pepatah mereka, mottainai.
Bagi orang-orang dari generasi saya, yang hidup selama Perang Dunia II, kata mottainai mengingatkan kami pada ibu kami. Setiap potongan sisa makan malam kami atau sisa pengolahannya akan diubah oleh tangan pekerja keras ibu kami menjadi suguhan lezat buatan rumah untuk mengisi perut anak-anaknya yang sedang bertumbuh. Beliau mengolah daun lobak menjadi acar, mencacah kupasan sayuran menjadi lauk tambahan yang lezat, dan mengolah kembali ikan bakar yang tersisa sebagai camilan sore kami. Anak-anak juga bangga mengenakan celana panjang dengan tambalan yang dijahit ibu mereka. Ibu adalah ahli ilmu gizi yang didasarkan pada cinta, ahli ekonomi rumah tangga yang didasarkan pada penghematan dan kecerdasan.
Semangat kepedulian dan welas asih yang mencegah pemborosan apa pun adalah salah satu nilai dari masyarakat Jepang yang paling mengagumkan pada masa itu. Ini berkaitan erat dengan etos penghormatan terhadap kehidupan dan memikirkan orang lain. Saya yakin saya tidak sendirian dalam meratapi hilangnya semangat ini sebagai salah satu alasan di balik hilangnya rasa kemanusiaan yang begitu nyata dan menyakitkan di dunia kita saat ini.
Istri saya, yang juga menjadi korban peperangan, selalu berusaha keras untuk berhemat dan berpikir ekonomis dalam mengelola rumah tangga kami. Dia tidak pernah menyia-nyiakan sebutir beras pun, dan sisa makanan dari makan malam pasti akan diolah kembali menjadi makanan lain. Daur ulang adalah hal yang biasa baginya, dan dia selalu menyimpan hal-hal seperti kertas pembungkus dan pita untuk digunakan kembali.
Contoh-contoh kecerdikan dan kepanjangan akal sehari-hari ini mungkin terlihat kecil atau bisa diabaikan, tetapi para ibu di dunia telah menggunakan kearifan dan cinta sebagai alat yang efektif untuk menopang keluarga mereka dan meningkatkan kehidupan mereka.
Wangari juga memahami bahwa Gerakan Sabuk Hijau dibentuk berdasarkan kewelasihan dan kepedulian terhadap masa depan anak-anak dan tanah kelahirannya di Kenya. Dia memuji para wanita mulia dari kalangan biasa yang berpartisipasi dalam gerakan ini dengan sebutan “Ahli kehutanan tanpa ijazah.” Solidaritas dan upaya gigih mereka dalam komunitas tidak hanya mencegah kekeringan di Afrika tetapi juga meningkatkan kesadaran akan masalah lingkungan di benak orang-orang di seluruh dunia. Pelayanan mereka untuk kemanusiaan dan planet Bumi jauh melebihi pemimpin negara mana pun.
Dalam pidatonya di Universitas Soka, Wangari mengatakan bahwa para politisi pasti akan mencoba mengambil keuntungan dari rakyat, dan karenanya sangat penting bagi masyarakat untuk mencegahnya dengan terlibat dalam pemerintahan. Ini sungguh benar. Saya percaya bahwa demokrasi di abad ke-21 perlu didasarkan pada pembelajaran dari kearifan seorang ibu, yang benar-benar mewakili rakyat, dan melibatkan kearifan perempuan semaksimal mungkin.
Ibu saya juga merupakan titik awal dari kegiatan saya untuk perdamaian. Beliau tetap berani dan tidak gentar meskipun empat putranya diambil darinya, satu demi satu, untuk bertempur dalam Perang Dunia II. Tetapi setelah perang, ketika menerima kabar bahwa putra sulungnya telah terbunuh dalam pertempuran, beliau sangat patah hati. Saya tidak akan pernah melupakan rasa sakit dan kesedihannya ketika itu sepanjang hidup.
Kesedihan satu orang ibu yang baik hati juga merupakan kesedihan jutaan ibu. Perang, yang memaksa para ibu di dunia untuk tunduk serta membuat mereka kelaparan dan mengalami kesedihan yang pahit seperti itu, tidak boleh diizinkan, apa pun kondisinya.
Menanam pohon adalah menanam kehidupan; Hal ini memupuk masa depan, memupuk perdamaian—inilah keyakinan bersama Wangari dan saya di dasar jiwa kami saat kami bertemu dan berbicara.
“Tidak peduli betapa menyedihkan situasinya,” katanya kemudian, “cahaya harapan pasti dapat bersinar.”
(Diterjemahkan dari https://www.ikedaquotes.org/stories/wangari-maathai.html)
Photo credit : https://www.greenbeltmovement.org/