Menu
Komunitas

Komunitas

Opini Perdamaian
Tak Seorang Pun Tertinggal: Mengutamakan Kehidupan Bersama dalam Mengejar Pertumbuhan Ekonomi
Artikel

Dalam pembahasan mengenai dampak perubahan iklim, ada kecenderungan untuk berfokus pada skala kerugian ekonomi atau indikator-indikator lainnya yang dapat dihitung. Namun, saya kira penting bahwa kita juga memperhatikan penderitaan nyata banyak individu yang dikaburkan oleh indeks-indeks makroekonomi semacam itu, dan menjadikan kenyataan tersebut sebagai inti upaya kita untuk bersatu mencari solusinya. Di sini, secara struktural ada keserupaan dengan friksi perdagangan yang telah kian memanas tahun-tahun belakangan ini. Istilah “beggar-thy-neighbour” (kebijakan ekonomi yang merugikan negara lain) merujuk pada kebijakan yang mengupayakan pemulihan kesehatan ekonomi di dalam negeri dengan menaikkan tarif atau membatasi impor. Namun, di dunia kita yang telah mengglobal dan makin saling bergantung ini, siklus pembalasan ekonomi kerap kali menyebabkan hasil yang tidak terduga yang telah digambarkan sebagai “beggar-thyself” (kebijakan ekonomi yang merugikan negara sendiri).  

Pertikaian perdagangan memberikan pengaruh negatif pada kinerja banyak usaha kecil dan menengah yang menimbulkan tekanan untuk restrukturisasi dan menghilangkan pekerjaan bagi banyak orang. Bahkan bila kita menerima bahwa adalah penting untuk meningkatkan indikator-indikator ekonomi seperti neraca perdagangan, kelanjutan kondisi yang makin memberatkan orang yang hidupnya sudah rentan, baik di dalam maupun di luar negeri, hanya akan meningkatkan ketidakstabilan sosial di seluruh dunia.

Sewaktu menyampaikan pidatonya di sidang Majelis Umum PBB tahun lalu, Sekjen PBB Guterres menampilkan sketsa orang-orang yang telah dijumpainya sewaktu ia berkunjung ke wilayah yang secara memprihatinkan terancam: Keluarga-keluarga di wilayah Pasifik Selatan yang terancam tenggelam karena kenaikan air laut; Para pengungsi muda di Timur Tengah yang berharap dapat kembali ke rumah dan ke sekolah; Para penyintas wabah Ebola di Afrika yang berjuang membangun kembali hidup mereka. Dia memperingatkan: “Banyak sekali orang yang ketakutan terinjak, tersikut, dan terkucilkan.” Saya pun merasakan demikian. Ketika kita mempertimbangkan isu-isu global, fokus kita yang pertama dan terutama haruslah pada ancaman terhadap nyawa, sumber mata pencaharian, dan martabat setiap orang.

Baik iklim maupun perdagangan adalah isu-isu yang secara mendalam memengaruhi ekonomi dan masyarakat kita. Sehubungan dengan hal ini, saya merasa bahwa wawasan presiden pendiri Soka Gakkai, Tsunesaburo Makiguchi (1871–1944) yang disampaikan melalui karyanya pada tahun 1903 Jinsei chirigaku (Geografi Kehidupan Manusia) layak kita simak. Makiguchi membandingkan konflik militer yang dibatasi oleh waktu dengan persaingan ekonomi yang sifatnya terus berlanjut. Konflik militer, katanya, terjadi secara mendadak dan menimbulkan penderitaan mengerikan yang membuat kita waspada, sedangkan persaingan ekonomi terjadi secara bertahap dan dengan cara yang tidak dramatis sehingga tidak menarik perhatian kita. 

Yang ingin ditekankan oleh Makiguchi adalah bahwa karena kekejian perang itu sudah sangat jelas dan manusia pun waspada, sehingga memberikan peluang untuk mencegah bahaya yang lebih besar, misalnya lewat negosiasi dan mediasi. Tidak demikian halnya dengan persaingan ekonomi yang dilakukan secara terus-menerus dan sebagian besar tanpa kita sadari, dan hasilnya pun terlihat sebagai proses “seleksi alami”. Dengan demikian, ia memudar dalam kehidupan sosial kita, membuat kita mengabaikan berbagai kondisi tidak manusiawi dan penderitaan yang ditimbulkannya.

Pada zaman Makiguchi, dunia sedang dilanda kekuatan imperialisme dan kolonialisme, dan secara umum dianggap biasa saja untuk mengejar kesejahteraan dengan mengorbankan masyarakat lainnya. Namun, pemikiran seperti itu menyiratkan suatu sikap pembiaran terhadap kelompok-kelompok tertentu yang menjadi korban, dan keterpurukan mereka bukanlah urusan kita. Sikap pembiaran ini menumpuk di kedalaman kesadaran masyarakat kita seperti lapisan endapan lumpur.

Sebagai akibatnya, konsep “yang kuatlah yang akan bertahan hidup” dalam persaingan ekonomi cenderung terus melaju tanpa jeda, mengikuti prakiraan Makiguchi bahwa “ujung-ujungnya, penderitaan yang ditimbulkannya jauh lebih parah [ketimbang penderitaan akibat perang]”.Di dunia abad kedua puluh satu, ketika globalisasi dan penyatuan ekonomi telah semakin maju melampaui zamana Makiguchi, risiko-risikonya jauh lebih besar ketimbang sebelumnya.

Makiguchi tak pernah menyangkal pentingnya persaingan di dalam dinamika masyarakat, dengan mempertimbangkan bahwa saling berupaya untuk meraih keunggulan merupakan sumber energi dan kreativitas yang berlimpah. Yang dirasakannya bermasalah adalah kecenderungan kita untuk memandang dunia ini hanya sebagai kancah persaingan untuk bertahan hidup, melandaskan perilaku kita pada asumsi bahwa hidup kita tak bergantung satu sama lainnya dan tetap menyangkal pengaruh-pengaruh semacam itu. 

Dasar pemikiran Makiguchi adalah suatu kesadaran bahwa dunia ini merupakan tempat untuk kehidupan bersama.

Dalam pengantar karyanya The Geography of Human Life (Geografi Kehidupan Manusia), Makiguchi menggambarkan kesadaran konkret yang merupakan landasan dasar dalam cara memandang dunia ini. Ketika istrinya tidak mampu menyusui bayinya yang baru lahir, dokter mereka merekomendasikan susu bubuk produksi Swiss setelah produk dalam negeri terbukti tidak layak. Makiguchi mengungkapkan apresiasinya kepada para gembala sapi di lembah bukit pegunungan Jura. Seraya menyebutkan pula katun yang menjadi bahan kain pembungkus tubuh bayinya, ia kisahkan betapa orang-orang di India bekerja di bawah panas menyengat untuk memproduksinya. Lewat semua itu, dia menguraikan bagaimana seorang anak sudah terhubungkan ke seluruh dunia sejak kelahirannya. Rasa penghargaannya terhadap orangorang yang belum pernah dijumpainya ini tercakup di dalam ungkapan “kehidupan bersama” yang tidak menggambarkan dunia sebagaimana yang ideal, melainkan sebagaimana yang nyata, kendati kita cenderung mengabaikan fakta itu.

Dunia ini terdiri dari serangkaian kegiatan yang saling terkait dan tumpang tindih dari orang-orang yang tak terhitung jumlahnya serta dinamika saling pengaruh memengaruhinya. Ketika persaingan dijalankan dengan mengabaikan realitas ini, kita bisa membutakan diri terhadap keberadaan orang-orang yang menderita di bawah berbagai ancaman dan kontradiksi yang mencekam di dalam masyarakat. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk secara sadar terlibat di dalam kehidupan bersama dan bekerja untuk masyarakat berdasarkan pendekatan yang “mengupayakan melindungi dan meningkatkan tidak hanya kehidupan diri sendiri, melainkan juga kehidupan orang lain”. Itulah intisari pernyataan tegas Makiguchi. 

Menoleh kembali ke masa kini, pertumbuhan ekonomi dan upaya pencegahan pemanasan global bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Misalnya, selama periode tiga tahun sejak 2014, ekonomi global meningkat dengan kecepatan lebih dari tiga persen per tahun, sementara emisi gas rumah kaca yang terpenting, yakni karbon dioksida (CO2 ) tetap sama. Emisi telah mulai kembali naik, tetapi saya yakin bahwa dengan membuat pilihan berani untuk “melindungi dan meningkatkan tidak hanya kehidupan diri sendiri, melainkan juga kehidupan orang lain”—melalui tindakan-tindakan seperti peluncuran berbagai sumber energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi—kita pasti mampu mengembangkan jenis ekonomi dan kehidupan sosial yang baru. 

Dasar untuk secara sadar membangun kehidupan bersama terdapat di dalam pemahaman bahwa orang yang hidup di bawah bayang-bayang ancaman berat pun pada dasarnya tidak berbeda dengan kita.

Inilah yang ditekankan di dalam karya dua profesor di Massachusetts Institute of Technology, Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo. Dalam tinjauan mengenai isu kemiskinan dan hubungan mendalam isu ini dengan persaingan ekonomi, mereka telah mempertimbangkan banyak hal yang bukan dari perspektif makroekonomi, tetapi lebih pada kajian empiris atau kajian yang berdasarkan pengalaman kehidupan orang-orang dalam kondisi aktual. Bersama Prof. Michael Kremer dari Harvard University, karya mereka ini telah dianugerahi sebagai Hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2019. 

DaIam buku mutakhir mereka Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty, mereka menulis bahwa orang-orang yang paling miskin pada dasarnya tidak berbeda dengan yang lainnya, misalnya tidak kurang rasional. Orang-orang yang tinggal di negara kaya adalah orang-orang yang mendapatkan akses ke air minum yang aman, perawatan kesehatan dan berbagai bentuk dukungan tak terlihat yang telah “sedemikian tertanam di dalam sistem sehingga kita hampir tidak menyadarinya”. Mereka mencatat bahwa “orang miskin menjalani hidup yang lebih berisiko ketimbang yang kurang miskin, tetapi kemalangan dengan tingkat keparahan yang sama tampaknya lebih membebani mereka”. Banerjee dan Duflo mendorong kita untuk tidak membuat penilaian stereotip, seraya menekankan perlunya memahami kondisi aktual yang dialami orang-orang ini.

Upaya serupa untuk memahami berbagai kondisi kehidupan manusia— dan bukan alih-alih memandang mereka dari lensa kategori atau kelas masyarakat—menempati tempat penting dalam ajaran Buddhisme yang dijunjung oleh SGI.

Buddha Sakyamuni tercatat mengamati; "Tidak seperti adanya perbedaan ciri-ciri bentuk tubuh di antara makhluk hidup, tiada perbedaan seperti itu di antara sesama umat manusia. Perbedaan yang ada di antara umat manusia hanyalah perbedaan tata nama. Pesan inti dari kutipan ini adalah bahwa sementara berbagai kategori telah dihasilkan dan diberi nama di dalam masyarakat, dalam soal kemanusiaan, tidak ada perbedaan di antara sesama manusia".

 

( Dikutip dari Proposal Perdamaian 2020 oleh Daisaku Ikeda "Menuju Masa Depan Bersama Membangun Solidaritas Bersama")