Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

Pada usia 21 tahun, saya mulai melaksanakan Buddhisme Nichiren. Ibu saya terdiagnosa kanker untuk kedua kalinya, dengan kesempatan yang sangat tipis untuk sembuh. Ayah saya juga sedang berjuang untuk hidup.

Dengan keyakinan mutlak pada kekuatan daimoku dan kutipan Gosho bahwa “Musim dingin pasti berubah menjadi musim semi” (WND-1, hlm. 535), kami berhasil mengatasi karma penyakit. Kini sudah 16 tahun berlalu, ibu saya sehat, kuat, dan aktif. Kami juga mengatasi kesulitan keuangan yang luar biasa. Sambil berjuang melawan berbagai rintangan setelah kuliah, saya pindah ke Mumbai untuk menjadi sutradara dan penulis film cerita. Profesi ini sangat sulit dan tidak stabil bagi seorang wanita muda di India, apalagi jika bukan berasal dari keluarga yang berkecimpung di dunia perfilman. Saya bisa menemukan keberanian dan kegigihan berkat pelaksanaan Buddhis saya.

Di hati saya hanya ada satu hasrat mendalam--membuat Ikeda Sensei (yang saya anggap sebagai guru kehidupan) dan Ibu Kaneko bangga lewat karya saya dengan menjadi “putri raja naga” (bdgk. WBD-1, hlm. 74) dan membuka jalan pencerahan bagi kaum wanita.

Saya dihadapkan pada tantangan seperti uang yang sedikit, tidak ada tempat tinggal, tidak ada liburan, dan terus menerus terancam masyarakat sekitar karena saya masih lajang. Karena itulah saya selalu mencari Gohonzon untuk menemukan solusi atas masalah-masalah saya.

Akhirnya, saya membuat film cerita pertama saya. Meski secara komersil tidak begitu berhasil, film itu banyak diapresiasi. Tanpa membuang sekejap pun, saya menetapkan target untuk film cerita kedua, yang terbukti menjadi tugas yang penuh segala macam kesulitan--baik dalam pengambilan gambar, penyelesaian, peluncuran ataupun distribusinya. Saya tahu semua perjuangan ini merupakan cara-cara arif agar saya menjadi pembuat film yang lebih baik dan pendongeng yang lebih sensitif.

Selama periode ini, hati kepercayaan saya mengalami pergeseran mendalam. Di zona saya, saya berjuang lebih daripada sebelumnya, untuk mencapai sasaran 100.000 generasi muda dan 150.000 Bodhisatwa Dari Bumi yang dibuat Soka Gakkai Bharat (India) atau BSG. Saya menghabiskan waktu berjam-jam, menjelaskan tujuan dari sasaran-sasaran itu. Secara pribadi, saya melaksanakan banyak shakubuku. Setiap pagi, saya akan menyemangati anggota divisi pemudi untuk bangkit dengan berani.

Selama masa ini, ayah saya, yang telah pulih dari kanker tingkat lanjut, harus terbaring sepenuhnya di tempat tidur. Pada saat bersamaan, pembuatan film saya mengalami kebuntuan tanpa harapan, namun saya tetap gigih dalam perjalanan hati kepercayaan.

Tahun lalu, pada malam Upacara 16 Maret Keemasan, ayah saya meninggal pada usia 61 tahun yang terbilang muda. Saya merayakan 16 Maret, dan menyalakan api kremasi dalam upacara pemakaman ayah saya di hari yang sama. Melalui api kematiannya, api keberanian pun timbul di hati saya. Pada momen yang sangat penting itu, saya merasa Sensei dan ayah selamanya ada bersama saya.

 

Mengerahkan Diri Lebih Dari Sebelumnya untuk Membuka Jalan

Saya menerjunkan diri dalam kosenrufu dengan rasa kemisian yang lebih mendalam daripada sebelumnya. Saya sebenarnya merasa hancur karena putus asa dengan tidak adanya kemajuan apapun dalam film. Namun saya menyebut daimoku seperti singa buas, menyerahkan hidup saya untuk kegiatan-kegiatan Soka Gakkai. Tanpa keraguan apapun, saya melaksanakan upaya shakubuku, mengerjakan video-video BSG tanpa menyayangi jiwaraga. Saya berjuang bersama pemudi dan menyebut daimoku lima jam di hari-hari tertentu.

Dalam perjalanan menuju sasaran 150.000, dalam satu minggu, sepuluh dari begitu banyak teman yang saya sampaikan tentang Buddhisme menjadi anggota. Perasaan itu sungguh luar biasa! Hukum sebab dan akibat benar-benar tegas. Setelah kegelapan pekat selama satu tahun lebih, sepercik harapan muncul dan film saya terpilih untuk mengikuti kompetisi, di Festival Film Internasional Tokyo. Meski peluncuran dan distribusinya masih menjadi tanda tanya, film saya diputar untuk umum pada pertama kalinya di negara guru saya, Jepang. Kegembiraan saya sungguh tiada batas.

Film saya memenangkan Penghargaan Oxfam yang pertama untuk Film Terbaik mengenai Kesetaraan Jender, di kampung halaman saya di Mumbai, di hari saya menyebut daimoku di Balai Prasetia Agung Kosenrufu (Jepang, Shinanomachi) untuk pertama kalinya. Beberapa hari kemudian, saya memenangkan Penghargaan Semangat Asia di Festival Film Internasional Tokyo. Kehormatan ini sungguh luar biasa. Saya menerima pesan dari Sensei bahwa beliau mendoakan keberhasilan saya yang berkelanjutan.

Film tersebut terpilih untuk festival-festival film bergengsi lainnya di Stockholm, Miami, Paris, Glasgow, Tallinn, London, Amsterdam, Los Angeles, New York dan Cairo. Meski perjuangan untuk peluncurannya masih berlanjut, saya memperbaharui tekad untuk menang menuju 16 Maret. Saya berkata pada diri sendiri, saya akan menang, satu per satu.

Terkadang, saya merasa ragu bagaimana film saya bisa bersaing dengan begitu banyak film peraih penghargaan dari seluruh dunia? Namun saya hanya berdoa untuk meyakini bahwa film saya memiliki misi yang belum saya sadari.

 

Melangkah Maju dan Menang dengan Hati Kepercayaan Kuat

 

Sementara itu, dewan sensor di India menolak untuk mengesahkan film saya. Saya tiba di festival film Glasgow dengan hati yang berat. Akan tetapi, Gohonzon memiliki rencana lain untuk saya. Media massa, baik nasional maupun internasional, kaum wanita di seluruh India, serta berbagai organisasi internasional dan India mulai bersuara membela hak kaum wanita dan kebebasan berekspresi. Sebuah pembicaraan yang seharusnya telah kadaluarsa, akhir kembali disuarakan.

Pada Festival Film Glasgow, film saya memenangkan satu-satunya penghargaan, yang sebelumnya dimenangkan sebuah film yang dinominasikan Piala Oscar. Pada 14 Maret, film saya juga memenangkan Penghargaan Cerita Terbaik Pilihan Penonton di Festival Film CinemAsia di Amsterdam.

Nichiren Daishonin berkata, “Besi yang dipanaskan dalam bara api dan ditempa, menjadi pedang tajam. Orang arif dan orang suci diuji oleh penganiayaan” (WND-1, hlm. 303). Saya telah diuji dalam cara-cara yang tak terbayangkan, namun hati kepercayaan saya tetap kuat.

Dalam beberapa minggu terakhir, saya merasa seolah-olah semua pelaksanaan Buddhis saya selama 16 tahun adalah untuk mempersiapkan saya memiliki keberanian untuk tanpa gentar mempertanyakan norma-norma jender di India.

Pertempuran untuk meluncurkan film saya terus berlanjut. Pertempuran saya dalam hati kepercayaan juga berlanjut. Namun saya bertekad untuk menang demi semua wanita muda di India dan dunia. Saya bertekad bahwa sebelum akhir tahun 2017, lewat upaya saya sendiri, saya akan mewujudkan kekuatan 100.000 generasi muda berkemampuan, sebuah kekuatan perubahan yang akan berkontribusi secara aktif untuk perbaikan masyarakat dalam cara uniknya sendiri. Saya, sebagai bagian dari 100.000 generasi muda pembawa perubahan, bertekad untuk meneruskan jalan membuat film mengenai wanita yang menantang status quo. Saya bertekad untuk memenangkan Oscar untuk mempersembahkan kejayaan abadi kepada Ikeda Sensei.

 

Sumber: Creative Life, edisi Mei 2017.