Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

Tahun 1978 merupakan tahun yang bersejarah dalam hidup Pak Iwan. Di tengah kesulitan rumah tangga dan ekonomi yang dihadapi pada tahun itu, tantenya mengajaknya melantunkan daimoku. Tidak hanya itu, sang tante juga memperkenalkannya kepada Ibu dan Alm. Bapak Pontoh yang sejak saat itu menjadi senior kepercayaan yang berharga baginya. Saat itu, belum ada perpecahan dalam organisasi. Walaupun kondisi ekonomi dan rumah tangga Pak Iwan sendiri sedang tidak baik, tetapi dengan dorongan semangat dari pasangan suami-istri ini, serta ajakan-ajakan mereka untuk mengunjungi anggota-anggota di daerah terpencil Tangerang, walaupun harus bersepeda jauh, perlahan hubungan Pak Iwan dan istri berangsur membaik.

Pak Iwan sempat menarik diri dari semua kegiatan susunan. Dia menganggap bahwa selama masih berdaimoku, semua sama saja. Setiap kali mengantar istri ke pertemuan, Pak Iwan akan mencoba menghindari dengan membawa anak-anak pergi jalan-jalan ke mall dan tidak mengikuti pertemuan. Namun, lama-lama, beberapa pimpinan divisi bapak mulai mendekatinya. Mereka mulai menyemangati Pak Iwan untuk berpartisipasi dalam pertemuan dan ikut bertugas.

Suatu hari, Pak Iwan diajak mengikuti pertemuan di Rengasdengklok. Di situ, ia diperkenalkan dengan beberapa calon anggota. Tanpa disadari, akhirnya iapun menjadi aktif mengunjungi para anggota tersebut hingga akhirnya mereka perlu mencari tempat yang lebih besar untuk mengakomodasi pertemuan di area Rengasdengklok. 

Dari situ, dari dalam hati Pak Iwan muncul keinginan untuk membangkitkan lebih banyak lagi Bodhisatwa dari Bumi. Satu persatu mulai bermunculan para Bodhisatwa dari Bumi Karawang. Walaupun saat itu belum berbentuk cabang, di dalam hati para Bodhisatwa ini, termasuk juga Pak Iwan, muncul tekad kuat untuk mewujudkan susunan Daerah Karawang.


Satu bimbingan Ikeda Sensei yang Pak Iwan pegang dalam hati adalah kalimat ini: “Kita sedang memainkan peran dalam drama kehidupan, sebenarnya kita adalah Bodhisatwa dari Bumi. Karena kehidupan adalah drama besar, kita harus menikmati sepenuhnya peran yang kita mainkan dan raih kemenangan demi kemenangan, memperlihatkan keagungan hukum Nam-myoho-renge-kyo.’

Awal Guncangan Ekonomi Pak Iwan memulai bisnisnya berjualan obat di Pasar Kramat Jati. Pada masa kejayaannya, toko obatnya yang terdiri dari lima kios juga mengakomodir dokter-dokter muda yang hendak praktek pengabdian terhadap masyarakat. Kondisi ekonomi yang berkembang baik ini, walaupun belum mapan sekali, mendorongnya untuk mengiyakan permintaan anak keempatnya untuk berkuliah di Kuala Lumpur, Malaysia. Dua tahun kemudian, anak kelimanya juga mengajukan permintaan yang sama dengan kakaknya. Berangkat dari berhentinya anak pertama dan kedua dari perkuliahan mereka, Pak Iwan memutuskan bahwa ia ingin kedua anak terakhirnya ini berhasil dan berkuliah di tempat yang baik.

Namun, pada tahun 2012, iblis penyakit mulai datang. Beberapa hari sebelum Pertemuan Persahabatan Karawang - Banten diadakan, Pak Iwan tiba-tiba tidak bisa buang air kecil. Bahkan ketika dilarikan ke Rumah Sakit, dokterpun tidak dapat memasangkan kateter saluran kemih karena terhambat. Dalam keadaan kesal, menderita, dan kesakitan, Pak Iwan memaksa untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, anak pertamanya membawakannya obat yang dikatakannya dari Malaysia. Beberapa jam setelah meminum obat tersebut, Pak Iwan bisa kembali buang air kecil, tetapi darah segar juga ikut mengalir keluar.

Seminggu setelah itu, kejadian sama terulang kembali sehingga Pak Iwan sekali lagi dilarikan ke Rumah Sakit lain. Sempat trauma dengan kegagalan kateter di Rumah Sakit sebelumnya, ia awalnya tidak mau dipasangkan kateter. Tetapi prosedur akhirnya berhasil dan ia dirawat selama seminggu untuk observasi dan tes. Hasilnya menyatakan bahwa Pak Iwan harus segera dioperasi.

Dengan pendampingan teman-teman seperjuangan yang terus mengirimkan daimoku saat tindakan, operasi berjalan lancar. Beberapa hari kemudian, hasil biopsi keluar dan Pak Iwan dinyatakan positif kanker saluran kemih. Ia langsung merasa terpukul, karena tidak lama sebelumnya, adiknya baru saja meninggal karena kanker nasofaring. Beliau begitu galau hingga berpikir, apakah memang sudah jalannya harus meninggal karena sebab yang sama dengan adiknya?

Namun demikian, teman-teman seperjuangan Soka tetap menyemangatinya. Pada suatu hari Minggu, setelah pertemuan kemenangan di Balai Kegiatan Pusat di Kemayoran, beberapa anggota langsung mengajaknya jalan-jalan untuk menghilangkan penatnya pikiran. Dalam perjalanan di mobil, teman-teman seperjuangan tak henti- entinya mengingatkannya untuk menang terus melawan iblis penyakit.

Terinspirasi kawan-kawan, begitu pulang, Pak Iwan langsung membuka Gohonzon dan berdoa. “Tidak ada jalan lain”, ujarnya.

Tidak lama, sepupunya menelepon dan menyarankan untuk ke Rumah Sakit khusus kanker di Penang, Malaysia. Namun, dari mana dananya? Saat itu, kondisi ekonomi anak pertama dan keduanya masih belum baik. Anak ketiganya ikut suami dan menjadi ibu rumah tangga penuh. Sedangkan biaya kuliah anak keempat dan kelima masih terus berjalan. Kondisi ekonomi saat itu terlihat sangat tidak memungkinkan baginya untuk berobat ke luar negeri. Dalam rasa frustrasi yang berkecamuk, Pak Iwan tetap menghadap Gohonzon dan berdoa. Tanpa disangka-sangka, kakak iparnya menjadi dewi penolong keluarganya dan bersedia membantu biaya pengobatan yang tidak kecil itu.

Mereka sekeluarga kemudian berangkat ke Penang dan memulai perjalanan berobat yang panjang. Pak Iwan sangat berezeki untuk mendapatkan Rumah Sakit yang baik, penanganan yang luar biasa serta dokter yang juga baik. Dokter menjelaskan apa saja prosedur yang akan dijalankan dengan jelas dan sabar. Tidak ingin lebih lanjut membebani kakak iparnya yang telah begitu murah hati membantunya, Pak Iwan mulai menjual kiosnya satu persatu. Pengobatannya membutuhkan kontrol sebulan sekali ke Penang dan menghabiskan banyak biaya sehingga pada akhirnya Pak Iwan kehilangan semua kiosnya. Untuk menyambung bisnis, Pak Iwan mengontrak satu kios kepada manajemen pasar. Terlebih lagi, uang hasil menjual kios itu hanya cukup untuk biaya pengobatan, sedangkan masih ada biaya untuk pengeluaran sehari-hari, biaya kuliah anak, dan lain lain.

Untuk kontrak rumah, pengeluaran rumah tangga dan toko,  serta kelangsungan kuliah kedua anaknya di luar negeri, akhirnya Pak Iwan jatuh dalam lingkaran pinjam meminjam dengan rentenir. Untuk gali lubang tutup lubang, bukan hanya satu atau dua, tetapi ia terlibat dengan hingga 15 rentenir. Untungnya, anak keempatnya mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari sambil mengejar studinya di Malaysia sehingga meringankan pengeluaran Pak Iwan.

Dalam kerumitan yang begitu kusut, Pak Iwan sampai berpikir,
“Gohonzon, saya harus bagaimana lagi? Saya tidak bisa melihat ujung [akhir] dari [semua] ini!”.

Pada masa ini, Pak Iwan beberapa kali berdiskusi dengan salah seorang anggota Soka dari Korea yang saat itu tinggal di Karawang. Ia berkeluh kesah akan keadaan ekonominya, tetapi jawaban anggota tersebut menginspirasinya. “Pak, sekarang ini, ibaratnya seperti Bapak sedang berada di jalan raya, namun di depan Bapak ada truk sampah yang baunya sangat tidak sedap. Truk sampah ini adalah lima kecenderungan delusif [keserakahan, kemarahan, kebodohan, arogansi, dan keraguan] yang menutupi Bapak dari tujuan. Nah, truk ini harus dilewati terlebih dahulu, untuk tujuan kosenrufu dengan tulus! Tanpa melewati truk sampah ini, kita tidak akan bisa merubah nasib. Bapak harus bisa melewati truk ini untuk bisa melakukan revolusi jiwa.” 

Saat itu, Pak Iwan berpikir, jawaban itu sangat sulit untuk diwujudkan. Apalagi kondisi saat itu membuatnya sangat tertekan saat itu. Setiap hari pasti ada saja rentenir dan penagih hutang yang datang untuk menagihnya. Belum lagi, terkadang distributor barang yang datang untuk alasan yang sama. Pernah juga di satu kesempatan, distributor datang ke rumahnya untuk menagih hutang, di tengah berlangsungnya kunjungan pimpinan.

Pada titik ini, anak keempatnya akhirnya berhasil menyelesaikan studinya tetapi adiknya belum. Dalam posisi terlilit hutang sana sini, Pak Iwan mengutarakan kepada anak bungsunya bahwa ia tidak sanggup lagi membayarkan biaya kuliah. Dengan kecewa, si bungsu akhirnya kembali ke tanah air dengan kakaknya. Di tengah semua rentetan masalah tersebut, Pak Iwan dan keluarga memutuskan untuk pindah kontrakan rumah ke perumahan di bilangan Cibubur agar lebih dekat dengan toko, sehingga dapat memotong biaya transportasi. Di sini, perjalanannya bertugas di Cabang Bogor dimulai. 

Iblis Penyakit Kembali Datang
Bpk Iwan bersama Istri ©BentengPenaSuatu hari di tahun 2017, sepulang dari sebuah pertemuan, istri Pak Iwan, Bu Yenny merasa ada yang janggal dengan suaminya. Pak Iwan terlihat linglung dan berapa kali perlu diingatkan dengan keras untuk mengambil jalan pulang ke rumah yang biasa mereka lalui. Pak Iwan sendiri tidak terlalu menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Keesokannya ia masih bisa pergi ke toko walaupun badannya terasa lemas dan terus menerus mengantuk. Tetapi saat hendak masuk tol menuju Bogor untuk mengikuti pertemuan Cabang Bogor minggu itu, Pak Iwan tidak kuat dan akhirnya mengabari pimpinan bahwa ia tidak bisa datang malam itu.

Tidak lama kemudian, saat mengantar anak keempatnya ke toko buah di dalam komplek perumahan, Pak Iwan sudah tidak lagi bisa berjalan tegak. Ia harus berpegangan tembok agar tidak jatuh. Anak sulungnya dihubungi dan menghampirinya, memaksanya untuk ke Rumah Sakit. Barulah diketahui bahwa Pak Iwan mengalami stroke penyumbatan otak dan harus dirawat. Walaupun saat itu biaya telah dijamin oleh BPJS, ada perasaan terenyuh dalam hatinya ketika ia melihat keluarganya dengan sepenuh hati bergiliran menjaganya di Rumah Sakit. Melihat perjuangan mereka, Pak Iwan memaksa untuk hanya menginap selama lima hari, sehari lebih cepat dari himbauan dokter. 

Masih dalam perlindungan Gohonzon, stroke Pak Iwan ditangani dengan cepat dan masih dalam periode emas. Setelah satu paket sesi fisioterapi, Pak Iwan dapat kembali berjalan bahkan mengendarai mobil. Dengan kepulihan yang tergolong sangat singkat, Pak Iwan kembali bertugas di Cabang Bogor.

Jeratan yang Mulai Terurai Lepas dari iblis penyakit, Pak Iwan masih dihadapi dengan hutangnya yang belum selesai dan terus berbunga. “Gohonzon, ini kenapa belum terlihat juga ujungnya? Kenapa saya belum bisa lewati ‘truk sampah’ ini? Kecenderungan delusif apa lagi yang harus saya hadapi? Bagaimana saya bisa buktikan kekuatan Gohonzon dalam lingkungan saya kalau saya sendiri belum bisa lepas dari jeratan ini?”, begitu suara hatinya setiap kali menghadap Gohonzon dan berdaimoku. Belum lagi, tidak lama lagi kontrak sewa rumahnya akan habis.

Di tengah kesusahan hati juga kebingungan akan tempat tinggal, salah satu doanya terkabul. Selama ini, anak pertama Pak Iwan memiliki rumah di bilangan Lippo Cikarang yang disewakan. Melihat ayahnya tengah susah hati, ia merenovasi rumah tersebut dan menawarkan Pak Iwan untuk tinggal di situ, yang mana mendekatkannya kepada anak-anaknya yang tersebar di Jakarta, Bekasi dan Cikarang. Perpindahan inipun membawakan tugas Pak Iwan kembali ke Cabang Karawang yang pada saat itu sudah berkembang pesat berkat kerja keras dan keuletan para pimpinannya.

Satu masalah teratasi, tetapi hutang Pak Iwan belum terselesaikan. Setiap harinya, ia masih diteror oleh rentenir dan penagih hutang yang terus mendatangi kiosnya. Dengan tulus, Pak Iwan menghadapi dan menjawab mereka, “Saya tidak bisa bayar langsung, tapi saya akan cicil bayar sampai habis.”. Para penagih hutang inipun melihat langsung bagaimana sepinya kios Pak Iwan memasuki masa pandemi, tetapi beliau terus mencicil sedikit demi sedikit, tanpa mengambil hutang baru walaupun ditawarkan. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, hutang ini dapat ia selesaikan tahun lalu.

Keinginan Seorang Ayah
Masih ada satu doa yang tercatat di dalam buku doa Pak Iwan, yaitu agar anak bungsunya bisa kuliah lagi. Semenjak kepulangannya, anak kelimanya menjadi sangat pendiam dan mengurung diri. Berapa kali anaknya menanyakan apakah tidak memungkinkan dia melanjutkan kuliahnya di Malaysia? Dia bahkan bersedia kerja paruh waktu sebagaimana kakaknya dahulu memenuhi kebutuhan hariannya. Tetapi kondisi lilitan hutang yang sangat sulit tidak memungkinkan Pak Iwan menyetujui keinginan anaknya ini. Begitu pedihnya melihat kemurungan anak bungsunya, Pak Iwan berdaimoku empat jam setiap harinya untuk mendoakan agar si bungsu bisa kembali berkuliah.

Sempat ia ditawari untuk masuk ke salah satu universitas swasta ternama yang mulai naik daun di bilangan Banten, tetapi si bungsu menolak. Setelah beberapa lama, akhirnya ia diberitahukan bahwa universitas swasta tua ternama di Jawa Barat sedang membuka penerimaan mahasiswa baru. Mendengar ini, si bungsu bersemangat, tetapi Pak Iwan kembali bimbang. 

Saat itu, Pak Iwan belum berhasil lepas dari jerat lilitan hutangnya. Dari mana lagi ia harus mendapatkan dana untuk membiayai kuliah anaknya? Tak disangka–sangka, kembali ia ditolong oleh dewi penolong. Kakak iparnya, yang memberitahu keluarga tersebut tentang penerimaan mahasiswa baru ini, bersedia membayarkan biaya kuliah si bungsu. Setelah lulus ujian seleksi masuk, mereka mencarikan tempat kost untuknya. Si bungsu memilih kamar kecil yang berjarak tidak jauh dari kampus. Untuk transportasi, ia hanya minta orangtuanya membelikannya payung dan jas hujan untuk melindunginya ketika berjalan kaki di tengah cuaca hujan. 

Sebegitu menghargai kesempatan yang ia dapatkan, si bungsu bertekad untuk menyelesaikan kuliah dalam jangka waktu paling singkat dan sekarang, jika semua lancar, ia akan lulus kurang lebih setengah tahun lagi.

Sedikit demi sedikit, tali kusut yang menjerat Pak Iwan mulai terurai dan lebih merasakan kekuatan Gohonzon.

Iblis Penyakit Kembali Mengintai
Setelah pengobatan yang berlangsung selama empat tahun, Pak Iwan memutuskan untuk tidak kembali ke Penang untuk mengontrol kesehatannya. Ini merupakan keputusan yang logis, mengingat banyaknya hutang yang perlu ia bayarkan. Namun, tanpa kontrol sekian lama, kanker yang dulu ia derita kembali lagi. Namun kali ini, kanker ini dapat dikalahkan dengan tindakan dalam negeri, dan Pak Iwan kembali
sehat.

Setelah kembali tinggal di Cikarang, anak sulung Pak Iwan mengajaknya untuk memeriksakan jantung mereka. Tanpa disangka, melalui pemeriksaan tersebut, ditemukan bahwa Pak Iwan memiliki sumbatan di jantungnya dan harus segera kateter. Namun setelah opini berbeda dari dokter yang lain, mereka tidak mengindahkan peringatan ini.

Beberapa bulan kemudian, benar saja, Pak Iwan mengalami serangan jantung. Setelah dibawa ke Rumah Sakit, Pak Iwan langsung tidak diizinkan pulang dan ditindak secepatnya. Dalam hatinya, sambil tindakan terus berlanjut, ia hanya dapat berdaimoku sambil membatin, “Gohonzon, saya masih punya tugas di cabang saya!”

Oleh karena menggunakan BPJS, tindakan pemasangan ring tidak dapat dilakukan langsung di tiga titik seperti yang disarankan dokter. Maka, pemasangan ring berikutnya dijadwalkan beberapa bulan kemudian. Baru diketahui saat pemasangan ring kedua bahwa pemasangan ring pertama bermasalah, sehingga Pak Iwan tetap merasa sesak. Setelah diperbaiki dan ring kedua terpasang, Pak Iwan dijadwalkan untuk dipasangkan ring ketiga pada awal tahun 2023. 

Melihat ke belakang, Pak Iwan sangat bersyukur. Sekarang ini benang kusut sudah terurai. Anak-anaknya semua sukses, para menantunya juga mendapatkan pekerjaan yang baik semua, dan si bungsu pun bahkan sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama sebelum lulus kuliah. Ia juga menyadari bahwa semua karunia yang ia terima bukan hanya datang dari daimoku. Semua itu juga datang dari hati yang ingin menjalankan kosenrufu di dalam lingkungannya. “Jika kita hanya daimoku, dan tidak jalankan kosen-rufu, sulit [untuk menang]!” tegas beliau. Selain itu, menurutnya, dorongan semangat dari pimpinan dan teman-teman seperjuangan sangat penting, apalagi saat hati dihampiri keraguan.