Sebelumnya
Saya lahir, besar dan menikah di Binjai yang berjarak 25 km dari Medan.
Tahun 1971, saya menikah dengan suami saya, mendiang Wiedyas Santoso yang biasa dipanggil Bapak Santoso. Boleh dibilang saya menikah dengan seorang bujang idaman Kota Binjai yang tampan, putih, tinggi, dan keluarganya memiliki toko sembako yang maju dan terkenal di kota itu. Namun tidak lama sesudah kami menikah, usaha toko sembako milik abang suami saya bangkrut sehingga suami yang selalu membantu usaha di toko harus mencari berbagai cara untuk menafkahi saya dan anak-anak. Akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke luar kota demi mencari nafkah, ke hutan di Pulau Nias yang jauh dari Binjai. Suami harus tinggal dan bekerja di dalam hutan yang kayunya di ekspor ke Malaysia dan Jepang. Sebulan belum tentu pulang sekali. Selain itu gaji yang dia titipkan ke teman untuk diberikan ke saya pun kadang-kadang dikorupsi temannya. Keadaan ekonomi keluarga saya saar itu benar-benar sangat susah.
Suami mencari bantuan banyak orang pintar, membaca ramalan nasib dan mencari berbagai nasehat agar nasib kami bisa berubah menjadi lebih baik. Dari mengubah nama, melepaskan burung ke udara, melepaskan kura-kura di pantai, memakai berbagai jimat di badan dan masih banyak cara lain sudah dilakukannya, tetap nasib kami tetap sama. Bahkan kondisi keuangan semakin terpuruk karena semua pembacaan ramalan dan perlengkapan ritual memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Karena belum memiliki rumah sendiri, saya beberapa kali pindah tempat tinggal, dari rumah saudara ke rumah orangtua. Ketika saya tinggal di rumah kakak perempuan, kondisi keluarga kami sangat susah. Saya bingung bagaimana mengatasi masalah karena suami sedang berada jauh di dalam hutan dan tidak bisa dihubungi, uang sudah menipis, anak pertama sudah masuk TK, anak kedua sedang sakit, dan anak ketiga masih bayi.
Siang-siang bolong, dalam kebingungan saya berdiri di teras depan rumah yang tidak berpagar. Saya melihat tetangga sedang kedatangan tamu dan tamu itu mengajak dia untuk pergi ke “zadankai” tetapi ditolaknya. Karena merasa penasaran dengan “zadankai”, suatu istilah yang baru dan asing, saya bertanya ke tamu itu. Dia bilang ada “zadankai” nanti sore dekat-dekat sini. Karena ingin tahu lebih banyak, sore itu saya menitipkan anak-anak ke tetangga. Dengan menggendong bayi dan mengajak adik saya yang masih SMA, saya menghadiri “zadankai”. Itulah titik tolak terpenting dalam hidup saya. Di hari itulah saya mengenal Nam-myoho-rengek-kyo. “Zadankai” yang dimaksud adalah forum diskusi. Dalam forum itu, dua orang ibu menceritakan pengalaman mereka yang luar biasa. Sesampainya di rumah, saya langsung melantunkan Nam-myoho-renge-kyo dan segera merasakan kekuatan daimoku. Karunia nyata yang pertama adalah suami saya terhindar dari kecelakaan dalam perjalanan pulang dari Pulau Nias ke Binjai. Selain itu saya mengalami banyak perubahan yang sangat positif dalam hidup saya.
Tahun 1980, setahun sesudah saya mulai percaya dan melantunkan Nam-myoho-renge-kyo, saya menerima Gohonzon. Sejak itu saya sungguh-sungguh percaya pada Gohonzon dan melaksanakan Buddhisme Nichiren dengan hati yang tulus dan murni. Tahun 1991, 11 tahun kemudian, titik tolak terpenting kedua terjadi dalam hidup saya. Tahun itu sangatlah penting karena di tahun itulah saya mengenal guru kehidupan saya, Dr. Daisaku Ikeda.
Karena tuntutan pekerjaan suami, saya beberapa kali berpindah kota. Namun ke mana pun saya pindah, di mana pun saya menetap, saya selalu membawa Gohonzon dan mencari susunan. Ketika saya pindah ke Pasuruan, yang berjarak sekitar 60 km dari Surabaya, suami saya memulai usaha sendiri. Dengan demikian waktu kami menjadi lebih bebas untuk kosenrufu. Bersama dengan suami, kami berdua menjadi pimpinan dan aktif mengunjungi dan menyemangati anggota, memimpin pertemuan di Pasuruan, membagikan majalah, serta menyambut dan mengurusi pimpinan dari Jakarta maupun Surabaya. Ketika ada pertemuan di Surabaya, kami akan menjemput satu per satu anggota dari rumah mereka dan membawa mereka ke Surabaya. Sesudah pertemuan, kami akan mengantarkan kembali ke rumah masing-masing. Jarak antara Pasuruan-Surabaya ditempuh selama 2 jam pada waktu itu karena belum ada tol. Kami senang bisa menjaga anggota dengan baik.
Ketika saya dan suami sedang aktif-aktifnya berjuang dalam susunan NSI di Pasuruan, terjadi hal yang tidak kami duga. Kami menerima perintah dari pimpinan pusat bahwa seluruh kegiatan di Pasuruan dihentikan karena mereka mencurigai kami telah bergabung dengan Soka Gakkai. Padahal saya dan suami sama sekali buta mengenai Soka Gakkai, bahkan mendengar nama itu pun tidak pernah. Dengan rasa kecewa yang mendalam, semua anggota di Pasuruan menulis petisi ke pusat agar kegiatan di Pasuruan diaktifkan kembali karena semuanya masih ingin belajar Buddhisme.
Namun kebingungan kami tidak berlangsung lama. Saya, suami dan anggota-anggota di Pasuruan memiliki jodoh yang kuat dengan hubungan guru dan murid Soka sehingga terbukalah jalan menuju Hukum yang sejati. Pimpinan Soka Gakkai dari Jakarta mengunjungi Pasuruan dan menjelaskan sejarah sebenarnya penyebaran Buddhisme Nichiren Daishonin di Indonesia. Mereka juga menjelaskan tentang sosok Ikeda Sensei dan organisasi SGI. Kami menonton video perjuangan Ikeda Sensei untuk kosenrufu dunia dan diberi banyak buku.
Ibu Magalena Polim memberikan dua buku Revolusi Manusia jilid satu dan dua versi Mandarin kepada saya. Saya sangat hobi membaca buku. Sesudah membaca kedua buku itu pandangan saya menjadi terbuka, mendapatkan inspirasi yang besar dan kesan yang sangat baik terhadap perjuangan Josei Toda, presiden kedua Soka Gakkai. Kedua buku itu adalah salah satu faktor yang membuat saya memutuskan untuk bergabung dalam Soka Gakkai, mengikuti guru sejati dan meninggalkan NSI. Sampai sekarang kedua buku itu masih saya simpan dengan baik.
Saya dan suami melalui banyak rintangan dalam upaya memperkenalkan SGI di Pasuruan. Karena selama di Pasuruan saya dan suami menjalankan tugas pimpinan dengan baik dan dekat dengan anggota, kemantapan hati dan ketegasan kami untuk bergabung dengan SGI membuat banyak anggota mengikuti langkah kami.
Tahun 1993, balai kegiatan Soka Gakkai yang pertama di Indonesia berdiri di Pasuruan. Balai kegiatan ini adalah hadiah dari Ikeda Sensei. Jalan sampai balai kegiatan ini berdiri merupakan perjuangan yang berkesan mendalam. Karena sangat ingin memiliki rumah kosenrufu itu, kami mengajak anggota untuk melakukan kampanye daimoku. Setiap malam kami berkeliling ke rumah anggota secara bergiliran untuk melantunkan Nam-myoho-renge-kyo bersama selama 1 jam. Kampanye ini berlangsung selama beberapa bulan. Kami juga mengadakan pertemuan umum. Proses pembelian dan pengurusan surat-suratnya menjadi perjuangan tersendiri. Karena situasi pada waktu itu dan anggota lainnya tidak bisa mengurusnya, akhirnya semua dilakukan oleh mendiang suami saya sendiri. Ada pihak tertentu yang mengancam akan memanggil polisi untuk menangkap bila balai kegiatan ini berdiri. Mendiang suami saya berani pasang badan. Balai kegiatan Pasuruan ini masih berdiri dengan baik sampai hari ini.
Pada tahun 2016 saya sempat mengunjungi balai pertemuan itu, yang terawat dengan sangat baik. Saya merasa gerakan guru dan murid yang murni dimulai pertama kali di Indonesia dari kota Pasuruan. Saya turut merasa haru dan bangga bahwa saya dan suami telah menjadi salah satu pelopor organisasi Soka Gakkai di Indonesia.
Tahun 1994, mengikuti pekerjaan suami, saya pindah ke Jakarta. Sedih hati memikirkan kami harus meninggalkan kegiatan dan sahabat Soka Gakkai di Pasuruan. Di Jakarta, kami memulai perjuangan baru untuk kosenrufu. Jakarta adalah kota yang sangat besar, sibuk, dan padat. Sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan kota Pasuruan yang jauh lebih sepi dan kecil. Karena mobil dipakai oleh suami untuk bekerja, maka saya harus belajar memakai kendaraan umum di kota besar ini untuk kosenrufu. Demi kosenrufu, apapun berani saya lalui. Semangat bangkit seorang diri dan berjuang untuk kosenrufu adalah sikap yang saya praktikkan sejak dulu sehingga saya tidak mau tergantung pada siapapun. Entah berapa kali saya tersasar tanpa mengenal siapapun juga, apalagi belum ada telepon seluler (HP) di zaman itu yang memungkinkan kita untuk menghubungi orang lain. Saya hanya mengandalkan keyakinan kepada Gohonzon untuk sampai ke tempat pertemuan, bisa latihan angklung dan tiba di rumah dengan selamat. Bahkan seringkali ada kegiatan di malam hari. Saya menganggap semua itu adalah pertapaan saya. Sungguh luar biasa kekuatan besar Hukum Nam-myoho-renge-kyo!
Sekarang saya telah memasuki usia lanjut. Melihat ke belakang, sulit dipercaya saya telah menang melalui berbagai rintangan kehidupan. Yang lebih luar biasa lagi, di tengah-tengah berbagai rintangan itu, saya tetap memiliki rejeki untuk mempraktikkan keyakinan (Jpn. shinjin) dengan baik, tetap bisa mengikuti pertemuan, tetap bisa aktif dalam berbagai kegiatan kebudayaan seperti paduan suara dan angklung. Saya mendapat banyak sekali teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dengan tulus dan welas asih. Banyak sekali karunia yang telah saya terima, yang terlalu panjang untuk saya ceritakan di sini.
Setiap detik kehidupan saya adalah Nam-myoho-renge-kyo. Bahkan ketika saya didiagnosa mengalami penyumbatan di hampir semua arteri utama jantung, yang mencapai 90% lebih, dan harus segera menjalani operasi bypass jantung, fokus saya tetap tertuju pada kosenrufu. Dokter sebenarnya sangat terkejut ketika mengetahui kondisi saya. Menurut mereka, kondisi saya seperti bom waktu yang sangat berbahaya dan harus segera dioperasi. Namun saya benar-benar tidak merasa lelah ataupun nyeri di dada. Hal yang sangat menakjubkan menurut dokter adalah, meskipun kondisi jantung saya super tersumbat, banyak sekali tumbuh jalur baru yang membantu pemompaan darah sehingga kadar oksigen dalam tubuh masih mencukupi. Ini sungguh perlindungan dari Gohonzon, seperti kata Nichiren Daishonin, “Myo berarti hidup kembali.”
Saya melantunkan banyak sekali daimoku untuk kesuksesan pameran kitab Sutra Bunga Teratai. Saya bertekad untuk pulih secepat mungkin setelah operasi bypass agar bisa menyumbangkan tenaga untuk kosenrufu. Dua minggu sebelum operasi, saya masih sehat dan kuat untuk ikut dalam pertunjukan Taiko bersama Grup Banyak Pusaka di Universitas Indonesia untuk mempromosikan pameran. Saya juga berejeki menghadiri pembukaan pameran kitab Sutra Bunga Teratai--Pesan Perdamaian dan Kerukunan Hidup di UI. Setelah operasi, pemulihan saya juga berlangsung sangat cepat sehingga saya bisa menghadiri acara penutupan pameran di Pusat Kebudayaan Soka Gakkai Indonesia. Jadi saya sama sekali tidak ketinggalan dalam pameran. Bahkan ketika dirawat di rumah sakit, di hari ketiga setelah operasi, saya mempromosikan dan membagikan brosur pameran kepada perawat dan dokter. 10 minggu sesudah operasi, saya sudah kembali memukul genderang Taiko dan menari bersama Grup Taho pada acara Rapimpur untuk memberikan semangat kepada pimpinan dari seluruh Indonesia. Saya merasakan betapa luar biasanya welas asih Gohonzon dan perlindungan dewa-dewi terhadap saya.
Ikeda Sensei mengatakan, “Kesehatan bukanlah semata-mata ‘tidak ada penyakit’, melainkan terus maju, menantang diri, menciptakan nilai untuk memperluas dunia batin kita seumur hidup. Hanya kehidupan yang menciptakan nilailah yang bisa disebut sebagai hidup sehat yang sesungguhnya.”
Sejak menerima Gohonzon 40 tahun yang lalu, saya yakin nasib saya sudah berubah. Tiada satu hari pun yang saya lalui tanpa gongyo dan daimoku. Saat ini saya menikmati hari-hari dengan melihat karunia Gohonzon yang sangat besar kepada saya dalam kehidupan ini yang tercermin dalam anak cucu saya. Saya sangat senang dan bangga melihat anak-anak, menantu-menantu dan cucu-cucu semuanya memiliki keyakinan yang bagus kepada Gohonzon, mau mengambil tugas sebagai pimpinan dan menjaga anggota, mau melaksanakan kosenrufu dengan gembira dan bersemangat. Kadang-kadang saya pikir ingin mundur selangkah dan mendukung yang muda dari belakang saja. Namun mereka semua selalu mendukung saya untuk selalu maju bersama dalam gerakan kosenrufu. Karena itulah saya bertekad untuk terus berjuang dalam berbagai kegiatan di susunan.
Ikeda Sensei selalu bilang bahwa tidak ada yang sia-sia dalam setiap perjuangan kosenrufu. Ayo semua bapak, ibu, dan generasi muda tercinta, jangan ketinggalan dalam misi yang mulia ini. Hargailah waktu. Jangan mencari alasan. Jangan ketinggalan satu orang pun. Mari kita berjuang bersama Ikeda Sensei.