Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

Saya aslinya berasal dari Irlandia. Kakak laki-laki saya, Declan, pergi ke sekolah dasar di Dublin yang dikelola oleh Christian Brothers, sebuah komunitas keagamaan dalam gereja Katolik yang mengupayakan pemberitaan Injil dan pendidikan kaum muda. Biasanya mereka akan memutar film setiap sabtu sore. Saya, Declan, dan saudara perempuan saya sering pergi untuk menonton dari waktu ke waktu. Suatu Sabtu, ketika saya berusia 7 tahun, kami berhasil mengantri di depan. Tidak lama sebelum pintu dibuka, kepala sekolah Declan (seorang anggota Christian Brothers) datang ke pintu dan menyuruh saya masuk sendiri. Dia membawa saya ke pojokan yang tidak terlihat oleh semua anak-anak lain dan dia melakukan pelecehan seksual kepada saya. Saya sangat bingung dan kaget, tetapi tidak terluka. Hal berikutnya yang saya ingat adalah saya berhasil memenangkan bola basket di acara undian hari itu. Entah bagaimana, saya menghubungkan kemenangan undian dengan pelecehan itu. Saya pikir saya menang undian karena perbuatan kepala sekolah itu kepada saya.

Saat tiba di rumah, ibu bertanya dari mana saya mendapatkan bola basket itu. Dengan polosnya saya menceritakan seluruh kejadian yang saya alami. Ibu langsung memukul saya dengan keras karena mengira saya telah berbohong. Hal ini disebabkan rasa hormat kepada setiap tokoh berkuasa, terutama dari pemuka gereja, pada masa itu. Itulah kejadian pertama dari banyak pemukulan yang saya alami. Sejak itu, hidup saya dipenuhi ketakutan dan kebingungan. Tidak perlu menjadi psikiater untuk mengetahui akibat hal ini terhadap hidup saya.

Bergerak cepat ke tahun 2014, saya berada di Tokyo untuk mengikuti kursus pelatihan SGI. Saya terpilih untuk menerima penghargaan dari Presiden SGI Daisaku Ikeda. Awalnya, saya merasa tidak bisa menerimanya karena diliputi perasaan bahwa saya seorang pembohong. Saat itu, saya telah melaksanakan Buddhisme ini selama tiga puluh empat tahun dan baru pertama kali mengikuti pelatihan di Jepang. Saya merasa bingung dan malu, dan saya ingin pulang. 

Setelah melantunkan banyak daimoku dan menerima dorongan semangat yang murah hati dari anggota lain di Jepang dan di rumah, saya menerima penghargaan itu dengan hati yang terbuka.

Saya terus tertidur selama pelatihan di Jepang. Saya mulai mengalami kesulitan berjalan dan kekurangan energi. Akhirnya, saya harus tinggal beberapa hari lebih lama di Jepang untuk mendapatkan perawatan di klinik. Saat kembali ke rumah, saya merasa baik-baik saja, tetapi sekitar satu minggu kemudian kesehatan saya mulai menurun secara drastis. Rasanya seperti saya ada sabuk beton di pinggul dan paha saya, dan berjalan pun terasa sangat menyakitkan. Saya merasa sakit di bahu dan tangan saya membengkak dan terasa sangat sakit. Saya kesulitan tidur di malam hari maupun tetap terjaga di siang hari. Untuk memakai kancing baju pun saya harus bersusah payah dan tidak bisa memakai kaus kaki atau sepatu yang bertali karena tidak bisa membungkuk akibat rasa sakit.

Saya merasa seperti ada kabut yang menutupi otak saya dan tidak lenyap sampai akhir-akhir ini. Saya tidak bisa menggunakan pisau sehingga tidak bisa memasak kecuali bahan-bahannya sudah siap dimasak. Saya pun mulai makan dengan sangat tidak sehat dan terbiasa memesan makanan dari luar. Saya menjadi sangat gemuk sehingga saya tidak bisa naik tangga ke kamar tidur dan akhirnya saya tidur di ruang tamu selama sekitar satu tahun.

Saya kesulitan untuk mengikuti kegiatan SGI karena perlu usaha yang sangat besar untuk ke sana. Saya sering menangis karena rasa sakit dan frustrasi. Pergi ke rumah anggota menjadi mimpi buruk karena saya tidak tahu hambatan fisik apa yang harus saya alami tanpa merepotkan orang lain.

Karena terbiasa melakukan kegiatan SGI hampir setiap hari selama bertahun-tahun, keadaan ini adalah perubahan yang menyakitkan bagi saya. Saya mendapat dukungan dari beberapa teman yang luar biasa dan menginspirasi, tapi terkadang saya merasa sudah hampir tidak bisa bertahan lagi. Masa ini sangatlah gelap bagi saya.

Butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan diagnosa. Saya diberi tahu bahwa saya menderita fibromyalgia (penyakit yang ditandai oleh rasa nyeri di sekujur tubuh, disertai rasa lelah dan gangguan tidur) dan kelelahan kronis. Setidaknya saya tahu apa yang saya hadapi. Saya terus bekerja dengan bantuan Dinas Kesehatan Kerja yang mengatur agar saya dapat bekerja hanya tiga hari seminggu, bukan lima hari. Saya harus memprioritaskan energi untuk bekerja karena inilah yang menopang kehidupan sehari-hari saya.

Saya berusaha menghadiri kegiatan SGI sebanyak yang saya bisa meskipun merasa sakit dan frustrasi karena saya ingin menunjukkan kekuatan keyakinan (Jpn. shinjin) dan Nam-myoho-renge-kyo. Walaupun kebanyakan waktu saya merasa ngilu, secara umum saya berhasil memperlihatkan sosok yang ceria.

Suatu hari, seorang pemimpin SGI-UK datang untuk berdaimoku bersama saya. Saya meminta maaf karena tidak menghadiri pertemuan di akhir pekan sebelumnya dan dia mengatakan tidak perlu meminta maaf. Selagi kami melantunkan daimoku bersama-sama, saya menyadari bahwa saya tidak perlu lagi meminta maaf karena tidak sehat. Saya hanya perlu sembuh. Inilah awal dari pemulihan saya.

Saya ingin mengatakan lagi bahwa saya mendapat dukungan luar biasa dari banyak orang, putri saya, anggota seperjuangan SGI, teman, dan rekan kerja. Berat badan saya turun cukup banyak, sehingga bisa bergerak lebih leluasa. Namun saya kembali terpuruk saat dihadapkan pada kesulitan kesehatan yang sangat besar. Pada tahun 2017, saya didiagnosa menderita diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan gangguan tidur. Saya kesulitan untuk bisa fokus pada tekad saya ketika berdaimoku, karena otak saya seperti tertutupi dengan kabut. Pelan-pelan saya merasakan perubahan dan saya mulai bisa lagi berdaimoku untuk menggunakan hidup saya demi mencapai tujuan kosen-rufu dengan hati yang sama dengan Ikeda Sensei.

Saya lalu mengalami kesadaran yang luar biasa. Saya menyadari bahwa akar kepercayaan saya bahwa saya seorang “pembohong” saat menerima penghargaan di Jepang berasal dari pengalaman saya saat berusia 7 tahun. Rasa takut dan bingung yang saya alami saat itu menjadi titik utama hidup dan memengaruhi pemahaman menyeluruh saya tentang siapa diri saya berdasarkan perasaan itu.

Memandang ke belakang, saya bisa melihat dengan sangat jelas bahwa rasa tidak percaya diri saya, keputusan yang saya buat dan tidak saya buat, keinginan saya untuk dicintai, dan perasaan bahwa saya sama sekali tidak pantas untuk dicintai, semua itu berhubungan dengan pengalaman itu. Saya bisa melepaskan semua itu setelah lima puluh tahun berjerih payah dalam kesesatan itu. Saya menyadari bahwa saya bukanlah pembohong dan tidak pernah menjadi pembohong. Saya bisa melihat bahwa kesesatan ini adalah bagian dari misi saya sebagai Bodhisatwa Dari Bumi dan faktor yang penting untuk memenuhi prasetia saya. Ibu saya hampir setiap hari mengatakan bahwa saya gemuk dan jelek dan tidak seorang pun yang akan mencintai saya. Selama lebih dari 50 tahun, jauh di lubuk hati, saya percaya padanya dan harus sampai sangat kegemukan dan sakit untuk menyadari bahwa semua ini adalah ilusi. Nichiren Daishonin menulis: “Penyakit menimbulkan tekad untuk memperoleh jalan [Buddha].” Pengalaman telah menunjukkan bahwa penyakit memang menuntun kita pada dunia Buddha.

Sejak awal 2018, berat badan saya banyak turun. Saya menemukan sarana untuk pertempuran ini berkat Pelayanan Kesehatan Nasional Inggris. Saya tidak lagi sakit diabetes, kolestrol tinggi, tekanan darah tinggi, gangguan tidur ataupun nyeri persendian. Saya bisa bergerak bebas lagi dan akhirnya bisa menjadi diri sendiri.

Saya percaya bahwa penting untuk terus maju tidak peduli apa pun, meskipun terkadang rasanya hampir mustahil untuk terus maju. Sekarang saya sangat berterima kasih kepada orang-orang yang membuat saya terluka karena mereka memainkan peran besar agar saya bisa memenuhi misi saya untuk kosenrufu.

Saya sangat berterima kasih kepada Ikeda Sensei. Saya merasa hidup kami saling terhubung dan takjub pada dalamnya welas asih beliau. Jika saya tidak menerima penghargaan itu di Jepang, saya tidak akan menemukan sukacita luar biasa dalam hidup saya. Saya sama sekali tidak ragu untuk mengatakan bahwa saya merasa bebas dan tak kenal takut, seolah-olah saya memiliki tulang belakang dari baja. Keyakinan saya pada agama ini menjadi luar biasa mendalam.

 

Sumber: Art of Living