Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

Saya sudah melaksanakan Buddhisme sejak remaja, sekitar tahun 1980-an. Hampir seluruh keluarga dan saudara saya juga menganut Buddhisme ini. Saat ini saya sudah memiliki istri dan satu orang putra dan putri yang juga telah bergabung di Soka Gakkai. Saya merasa ajaran Buddhisme ini paling rasional. Selama menganutnya, saya telah mengalami banyak perubahan dalam kehidupan.

Karunia terbesar yang saya dapatkan dari Buddhisme ini adalah saya masih bisa hidup sampai hari ini. Pada Maret 2019, saya divonis gagal liver oleh dokter. Sebenarnya saya sudah mengidap penyakit liver sejak sebelum menikah dan selalu minum obat dari dokter, tetapi saya sempat berhenti minum obat selama tujuh bulan dan menggantikannya dengan obat herbal tanpa konsultasi ke dokter. Inilah awal dari malapetaka penyakit berat yang saya hadapi. Tidak lama kemudian virus mulai merusak liver saya. Saya terus-menerus sakit dan demam kemudian sembuh, lalu tidak lama lagi kembali sakit. Ini terjadi hampir setiap dua minggu selama empat bulan. Saya tidak tahan lagi dan akhirnya memeriksakan diri ke dokter. Alangkah terkejutnya saya ketika dokter memvonis liver saya hampir rusak total dan harus langsung dirawat di rumah sakit. Selama seminggu, kesadaran saya mulai menurun sejak hari kedua hingga hari kelima. Dokter mengatakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa saya dengan transplantasi liver. Saat itu juga keluarga saya segera mencari pendonor yang cocok. Perjuangan ini tentu saja berat bagi keluarga saya.

Tim dokter memutuskan bahwa saya harus segera dibawa ke Singapura untuk menjalani cuci liver demi memperpanjang hidup saya sambil menunggu pendonor yang cocok. Setibanya di rumah sakit di Singapura, saya langsung dirawat di ruang perawatan intensif selama tiga malam. Keluarga berpacu dengan waktu untuk mencari pendonor.

Adik saya cocok untuk menjadi pendonor tetapi tidak bisa mendonorkan livernya karena ukurannya terlalu kecil. Mengingat waktu yang sangat mendesak, dokter menyarankan transplantasi gabungan dari liver adik dan kakak saya. Namun prosedurnya sangat rumit dan dokter di Singapura tidak mampu dan tidak berpengalaman melakukannya. Akhirnya diputuskan saya akan menjalani operasi ini di Taiwan.

Dokter mempersiapkan kondisi saya agar kuat untuk naik pesawat. Saya sempat bertanya kepada dokter kira-kira saya bisa bertahan hidup berapa lama lagi, dan dia mengatakan sulit diprediksi karena kondisi saya tidak stabil dan sewaktu-waktu bisa turun kesadaran lalu meninggal. Yang penting saya harus tetap bersemangat. Segenting itulah situasi saya, benar-benar perjuangan antara hidup atau mati.

Saya sangat bersyukur mendapat dukungan luar biasa dari teman-teman seperjuangan di Soka Gakkai  Indonesia dan Singapura, sehingga membuat saya tidak takut. Salah satu pimpinan Soka Gakkai Singapura yang mengunjungi saya mengatakan “Meskipun merasa tidak berdaya, kita harus bisa melantunkan daimoku seperti raungan singa. Kita tidak akan takut dan kalah oleh penyakit. Daimoku kita harus penuh tekad.” Dalam kondisi yang lemas dan tak berdaya, saya terus melantunkan daimoku bahkan sampai tertidur. Hanya daimoku yang bisa memberi saya kekuatan dan keyakinan untuk bisa hidup. Istri saya terus mendampingi dan melantunkan daimoku di sisi saya. Dalam benak saya sama sekali tidak ada pikiran saya akan mati, hanya ada tekad saya kepada Gohonzon bahwa bagaimanapun juga saya pasti bisa terus hidup demi misi saya. 

Sesampainya di Taiwan, keluarga saya terus mencarikan pendonor tunggal,  karena dokter di Taiwan tidak menyarankan operasi transplantasi dari dua pendonor. Risikonya sangat besar, apalagi prosedurnya memerlukan waktu lebih dari dua puluh jam. Berkat kekuatan Nam-myoho-renge-kyo yang luar biasa, saya bisa bertahan hidup selama mencari pendonor. 

Di kala upaya untuk mencari pendonor sepertinya buntu, tanpa diduga muncul seorang pendonor yang luar biasa berwelas asih. Dia adalah pacar putri saya, yang sekarang telah menjadi menantu saya. Ini sungguh perlindungan dari kekuatan Nam-myoho-renge-kyo yang luar biasa. Saya benar-benar tidak menyangka sebelumnya. Saya sangat berterima kasih kepadanya yang bersedia menjadi pendonor padahal pada saat itu dia baru berpacaran selama empat bulan dengan putri saya. Dia bahkan bersedia meninggalkan pekerjaannya karena harus ke Taiwan untuk menjalani operasi. Dia terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya karena operasi dan penyembuhan membutuhkan waktu hampir dua bulan. Meskipun mendapat cibiran dari teman-teman kantornya, dia tidak terpengaruh dan memilih untuk menyelamatkan nyawa saya. Saya sungguh-sungguh berterima kasih atas ketulusan hati dan niatnya yang mulia. Dewa-dewi pelindung muncul dalam wujud menantu saya. 

Namun rintangan lain kembali muncul. Tiga hari sebelum operasi, kondisi saya menurun hingga tidak sadarkan diri selama tiga malam. Namun berkat kekuatan daimoku istri dan keluarga, saya akhirnya bisa melewati masa kritis tersebut. Operasi dijalankan sesuai rencana dan sukses besar.

Saya sangat bersyukur dan merasakan kekuatan Gohonzon yang luar biasa karena saya bisa bertahan selama satu bulan dua puluh hari. Menurut cerita dokter, pasien yang kondisi yang serupa tidak ada yang bertahan lama, ada yang bertahan dua minggu, bahkan ada yang hanya bertahan dua hari.

Melalui semua ini, saya sangat bersyukur bisa berada dalam komunitas SGI. Anggota Soka Gakkai di Jakarta, Singapura maupun Taiwan ikut mengirimkan daimoku untuk saya. Saya merasakan perlindungan yang begitu kuat dalam banyak hal selama perjuangan melawan penyakit ini. Salah satunya adalah ada yang bekerja keras untuk mengurus berbagai dokumen ke Kementerian Dalam Negeri maupun pihak kedutaan sehingga dokumen saya bisa selesai tepat waktu, satu hari sebelum saya dioperasi.

Biaya pengobatan pun sangat besar. Namun ada saudara yang bersedia menalangi deposit untuk masuk rumah sakit di Singapura maupun di Taiwan, yang nilainya sangat besar. Mereka lebih mengutamakan nyawa saya, bahkan tidak pernah menanyakan tentang pengembalian dana mereka.

Jodoh baik dan karunia dari Nam-myoho-renge-kyo sungguh tak terbatas. Saya dan istri merasa inilah rezeki jiwa yang telah kami kumpulkan selama memeluk kepercayaan ini dan melaksanakan tugas kosen-rufu. Rezeki jiwa adalah karunia paling luar biasa yang kami dapatkan. 

Setelah dua setengah bulan dirawat di rumah sakit, saya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Saya merasa hidup kembali dan sangat berterima kasih kepada Gohonzon atas kesempatan untuk terus hidup ini. Kebahagiaan ini sungguh tak terlukiskan. Saat ini bisa dikatakan kondisi saya telah stabil dan bisa beraktivitas kembali meskipun gampang lelah. 

Melalui perjuangan ini, saya bertekad untuk terus mempertahankan kepercayaan ini sampai akhir hayat. Saya akan berjuang dengan sepenuh hati untuk kosen-rufu dan terus berjuang bersama Soka Gakkai. 

Saya ingin berbagi bimbingan Ikeda Sensei sebagai penutup cerita kemenangan saya:

Penyakit bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Yang menakutkan adalah kalah oleh “iblis penyakit”. Fungsi negatif ini menggunakan penyakit untuk menghalangi dan mematahkan semangat kita. Jika hal ini terjadi, maka penyakit yang dapat disembuhkan pun bisa menjadi tak tersembuhkan. Oleh karena itu, waktu kita jatuh sakit justru adalah saatnya kita membangkitkan semangat yang tak terkalahkan dan menantangnya dengan pelaksanaan Buddhis kita–mengalahkan “iblis penyakit” dengan raungan singa Nam-myoho-renge-kyo. Dengan melakukannya, kita akan memunculkan daya hidup kuat yang dapat mengubah bahkan penyakit menjadi batu loncatan dalam kehidupan. Kita bisa mengubah racun menjadi obat dan menjadi lebih sehat dan lebih kuat daripada sebelumnya.”