Menu
Komunitas

Komunitas

Mengubah Karma Menjadi Misi Meraih Impian

“Saya pasti akan membangun keluarga bahagia”. Inilah tekad saya saat menikah. Saat kecil, saya tinggal bersama nenek saya, sehingga teman main saya adalah kakek’’ nenek’’ tetangga. Sejak menikah, saya tinggal bersama ibu mertua yang naik kursi roda. Saya merasakan ini adalah misi saya yang sudah terbiasa hidup bersama orang lansia. Saya berjuang menjaga ibu mertua dan selalu turuti keinginannya hingga bawa beliau ke mana-mana. Saat hamil pun saya tetap angkat dia dari kursi roda ke mobil dan sebagainya. 

11 tahun setelah menikah, suami kerja di luar negeri dan jarang di rumah. Ketika pulang, dia sering tidak puas pada saya yang kurang pandai atur rumah tangga. Rasa sayang kepadanya bercampur rasa takut setiap kali dia balik ke rumah. 

Lalu, penyakit dimensia ibu mertua makin parah. Sifat kerasnya makin terasa. Beberapa kali beliau secara tidak langsung mengusir ayah saya yang datang berkunjung ke rumah. Pernah saat hujan deras, ayah saya harus meninggalkan rumah kami. Saya pikir, “Kenapa saya harus jaga beliau yang begitu jahat?”

Rasa benci tumbuh dalam hati saya. Perasaan saya menjadi tidak stabil. Ditambah anak sulung sedang di masa-masa lawan. Anak ke 2 tidak berani ke sekolah. Ada kalanya saya memukul anak secara emosional, lalu menyesal dan nangis di tengah malam.  Keluarga harmonis sepertinya hanya mimpi belaka. Saya sering pikir sebaiknya cerai saja.  Di sisi lain, saya juga masih mau berjuang untuk menciptakan keluarga bahagia. 

Saya membaca tulisan Nichiren Daishonin: “Ketika Anda menyalakan lampu untuk orang lain, jalan di depan Anda juga akan terang.” Saya mengunjungi teman yang juga sedang susah dan mendorong semangat mereka. Dalam proses itu, semangat saya juga bangkit dan dapat bertahan dalam kesulitan. Saya jatuh dan bangkit ratusan kali.

Saat terjadi pandemi, ada sekitar 2 bulan kami tidak ada suster yang menjaga ibu mertua sehingga tugas suster jatuh ke tangan saya. Selain itu, ibu saya sendiri juga sering sakit. Hati saya makin galau dan akhirnya meledak menjadi konflik besar dengan suami.  Saya melantunkan Nam-myoho-renge-kyo dengan sepenuh jiwa. Saya teringat kata-kata Presiden Ikeda bahwa “rasa benci terhadap orang lain akan menumpuk jadi racun dalam diri kita.” Saya seperti kena petir dan menjadi sadar bahwa apa pun alasannya, membenci suami dan ibu mertua telah membuat saya menderita. Saya bertekad untuk revolusi kemanusiaan diri sendiri.

Lalu hal yang kelihatannya tidak mungkin akhirnya terjadi. Suami saya berubah drastis. Dia mulai terlibat langsung untuk menjaga mamanya. Menjadi orang yang pengertian, seperti sosok suami yang saya dambakan. Keinginan saya untuk tinggal bersama ibu juga terwujud. Ibu mertua yang suka usir ibu saya, malah selalu cari ibu saya dan baik kepadanya.

Sekarang, setiap pagi saya melantunkan Nam-myoho-renge-kyo bersama ibu mertua dan ibu saya selama setengah jam hingga satu jam. Waktu yang sangat menggembirakan. Ibu mertua juga memberikan senyuman yang luar biasa. Kami bisa saling berterima kasih dari hati. Walaupun sifat kerasnya tidak berubah dan kadang masih masalah, tapi saya tidak lagi membenci dia. Ini membuat saya sangat bahagia!! 

Tiga anak saya tumbuh menjadi orang yang memiliki hati yang hangat dan rasa kebenaran yang tajam. Ketika saya curhat tentang ibu mertua, mereka malahan protes “mama jangan begitu”. Saya banyak belajar dari sikap mereka yang belajar filosofi Presiden Ikeda. Dulu saya gampang menyerah. Kalau di dalam film horor, saya akan pilih untuk dibunuh saja. Tapi sekarang saya akan pilih untuk lari sebisa mungkin sampai menang. 

Buddhisme adalah menang atau kalah. Walaupun dalam perjalanannya terlihat kalah, tetapi pasti akan menang pada akhirnya Setelah menikah 23 tahun, cita-cita saya untuk membangun keluarga bahagia terwujud nyata. Perjuangan masih berlanjut. Tapi saya akan berjuang hingga tuntas sesuai dengan bimbingan Presiden Ikeda sebagai berikut :

“Ubahlah penderitaan menjadi kekuatan, kesulitan menjadi kearifan, kesedihan menjadi kebaikan. Orang yang paling menderita adalah orang yang memiliki hak terbesar untuk menjadi paling bahagia.”

Terima kasih Ikeda Sensei, SGI, teman seperjuangan, senior-senior yang selalu mendorong saya hingga saya dapat membangun keluarga bahagia!